![]() |
Foto: Pixabay.com |
Tekanan akademik menjadi salah satu penyebab dominan. Sistem pendidikan tinggi sering kali terlalu menekankan pada capaian akademik, IPK tinggi, dan kelulusan cepat, tanpa memberikan perhatian cukup terhadap kesejahteraan psikologis mahasiswa. Tugas yang menumpuk, deadline yang ketat, serta ketakutan akan kegagalan menciptakan lingkungan yang tidak ramah terhadap kesehatan mental. Mahasiswa yang mengalami kesulitan sering kali merasa malu untuk mengakui ketidakmampuannya, takut akan stigma negatif, dan akhirnya memilih memendam sendiri hingga stres menumpuk menjadi depresi berat.Tidak hanya itu, masalah finansial juga menjadi tekanan berat yang kerap diabaikan. Biaya pendidikan yang tinggi, biaya hidup sehari-hari, dan beban hutang kuliah membuat banyak mahasiswa harus bekerja sambilan, yang justru menguras tenaga dan pikiran mereka. Ketidakstabilan ekonomi ini menambah beban mental, apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu yang menaruh harapan besar di pundak mereka.
Aspek sosial juga tak bisa dilepaskan. Era media sosial menciptakan standar kehidupan yang tidak realistis. Melihat teman-teman sebaya yang tampak "sukses" di dunia maya sering kali membuat mahasiswa merasa kurang dan gagal. Kurangnya koneksi sosial yang otentik, kesepian, serta minimnya ruang aman untuk berbagi membuat banyak mahasiswa merasa terasing di tengah keramaian.Bunuh diri bukan terjadi karena satu faktor tunggal; ia adalah hasil dari akumulasi tekanan yang bertubi-tubi tanpa adanya saluran sehat untuk melepaskan dan mengelola stres. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan pun harus bersifat holistik: dari pencegahan, edukasi, hingga intervensi nyata.
Mahasiswa adalah harapan masa depan bangsa. Setiap nyawa yang hilang adalah kehilangan besar bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi negara. Sudah saatnya kita semua berhenti menutup mata dan telinga. Kita harus menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi kesehatan mental, tempat di mana mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menjadi "sukses", tetapi juga didukung untuk menjadi sehat, utuh, dan bahagia.
Karena sejatinya, masa depan yang cerah tidak dibangun di atas deretan angka IPK semata, tetapi di atas jiwa-jiwa yang kuat, sehat, dan penuh semangat hidup.
Sumber: Rilis