![]() |
Foto: Pexels.com |
Tapi ternyata, tidak semua perasaan punya tujuan.
Ada cinta yang hadir hanya untuk mengajarkan arti kehilangan, bahkan sebelum memiliki.
Dan mungkin, itulah kami.
Aku mengenalnya di sebuah sekolah dasar mungkin itu sudah terlalu lama untuk dibahas. Dulu, aku hanya menganggapnya teman biasa, teman masa kecil yang asyik, yang memiliki aliran frekuensi yang sama denganku.
Saat kelas 5 SD, dia melanjutkan sekolah di daerah yang berbeda karena mengikuti pekerjaan ayahnya. Di situlah kami tidak pernah bertemu lagi, hingga masa remaja menghampiri sosok bocah kecil ini.
Di masa SMP, dia kembali lagi ke daerah asalnya. Namun, kami hanya bertemu satu atau dua kali saja, dalam pertemuan yang sangat singkat, seperti reuni kecil. Aku sangat bahagia bisa bertemu dengannya lagi setelah lama tidak berkomunikasi.
Masa remaja pun berlanjut. Kami kembali disatukan dalam satu sekolah. Saat itu, perasaanku kembali terasa hangat dan senang karena bisa melihat senyumnya lagi serta lentik matanya yang entah mengapa membuatku damai dengan semua keadaan yang menghampiriku.
Namun, keinginan untuk mendekatinya tidak langsung bisa kulakukan begitu saja di masa itu.
Suatu ketika, kami mulai memasuki masa yang paling ditakuti remaja saat itu masa memilih masa depan yang sudah di depan mata. Aku pun merasa bimbang dengan semua hal tersebut. Dengan ikhtiar yang luar biasa, kami akhirnya diterima di kampus impian masing-masing.
Kebetulan, kami berada di fakultas yang sama. Di sanalah mulai terjalin ikatan pembicaraan yang lebih mendalam mulai dari menanyakan tugas hingga menanyakan kabar satu sama lain.
Waktu terus berjalan. Aku menunggu, entah sampai kapan titik dan sesi yang tepat untuk menyatakan perasaan yang sudah kupendam sejak tiga tahun terakhir ini.
Hari di mana aku ingin jujur ingin mengatakan semuanya tentang perasaan yang kupendam akhirnya tiba tanpa kusadari. Tapi aku sangat mempertimbangkan untuk menyatakannya, karena dialah teman masa kecilku yang masih berteman hingga kini.
Aku takut jika ia tidak bisa menerima perasaan ini, dan segalanya justru berubah.
Hari pun berganti. Dalam hati aku bergumam, “Kalau tidak aku nyatakan perasaan ini, bagaimana aku tahu dia suka atau tidak padaku?”
Sebuah pikiran yang logis, tapi penuh adrenalin.
Malam itu juga aku memberanikan diri merelakan harga diriku untuk mengutarakan perasaan ini kepadanya.
Aku memulai dengan pembuka yang dalam, karena aku yakin perasaanku akan dibalas dengan jawaban seperti yang selama ini kuharapkan.
Namun kenyataannya, perasaanku berbalas dengan alasan yang begitu kuat.
Ujarnya, “Wah, aku nggak bisa melanjutkan cerita ini ke soal perasaan yang lebih dalam. Kamu juga tahu, kan? Kita sudah lama berteman, dan aku sudah menganggap kamu seperti keluarga sendiri—tempat aku cerita tentang suka dan duka. Aku nggak bisa meruntuhkan semua yang sudah aku bangun selama ini. Aku hanya menganggap kamu teman yang baik, yang bisa mengayomi aku menjadi pribadi yang lebih baik juga. Maaf ya, aku nggak bisa membalas perasaan tulus kamu. Mungkin perasaan itu bisa kamu utarakan kepada perempuan yang lebih pantas dan akan bahagia bersamamu.”
Malam terasa runtuh seketika. Tidak sesuai dengan ekspektasi yang sudah kurangkai begitu indah ternyata berbalik dengan kenyataan yang sangat pahit. Tapi aku harus menerima itu.
Mungkin ini bukan akhir dari pelabuhan cintaku yang terbaik.
Di sinilah aku belajar, bahwa mencintai terkadang bukan tentang memiliki, melainkan tentang menjaga agar yang dicintai tetap bahagia, meski bukan bersama kita.
Dan begitulah akhirnya.
Kami menjadi dua orang yang pernah dekat, tapi tak pernah benar-benar bersama.
Aku menyimpan namanya dalam ingatan, bukan karena belum bisa melupakan, tetapi karena aku ingin mengingat bahwa cinta tak selalu harus bersemi untuk berarti.
Kini, setiap kali aku melihatnya dari kejauhan, aku hanya tersenyum.
Ada perih yang tersisa, tapi juga ada damai yang tumbuh perlahan.
Mungkin karena akhirnya aku sadar, beberapa orang memang ditakdirkan hanya untuk singgah bukan untuk menetap.
Penulis: Daffa Alkausar (Magang)