Portal Berita Al-Kalam

LPM Al-Kalam Kembali Selenggarakan Kegiatan PJTD 2025: Asah Kemampuan Siswa dalam Jurnalistik

Foto: Fika Munayya www.lpmalkalam.com - Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam kembali menyelenggarakan kegiatan tahunan, yaitu Pelatihan Jur...

HEADLINE

Latest Post

21 Oktober 2025

Langkah yang Terhenti

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Aku pernah mengira semua pertemuan punya alasan.

Tapi ternyata, tidak semua perasaan punya tujuan.

Ada cinta yang hadir hanya untuk mengajarkan arti kehilangan, bahkan sebelum memiliki.

Dan mungkin, itulah kami.

Aku mengenalnya di sebuah sekolah dasar mungkin itu sudah terlalu lama untuk dibahas. Dulu, aku hanya menganggapnya teman biasa, teman masa kecil yang asyik, yang memiliki aliran frekuensi yang sama denganku.

Saat kelas 5 SD, dia melanjutkan sekolah di daerah yang berbeda karena mengikuti pekerjaan ayahnya. Di situlah kami tidak pernah bertemu lagi, hingga masa remaja menghampiri sosok bocah kecil ini.

Di masa SMP, dia kembali lagi ke daerah asalnya. Namun, kami hanya bertemu satu atau dua kali saja, dalam pertemuan yang sangat singkat, seperti reuni kecil. Aku sangat bahagia bisa bertemu dengannya lagi setelah lama tidak berkomunikasi.

Masa remaja pun berlanjut. Kami kembali disatukan dalam satu sekolah. Saat itu, perasaanku kembali terasa hangat dan senang karena bisa melihat senyumnya lagi serta lentik matanya yang entah mengapa membuatku damai dengan semua keadaan yang menghampiriku.

Namun, keinginan untuk mendekatinya tidak langsung bisa kulakukan begitu saja di masa itu.

Suatu ketika, kami mulai memasuki masa yang paling ditakuti remaja saat itu masa memilih masa depan yang sudah di depan mata. Aku pun merasa bimbang dengan semua hal tersebut. Dengan ikhtiar yang luar biasa, kami akhirnya diterima di kampus impian masing-masing.

Kebetulan, kami berada di fakultas yang sama. Di sanalah mulai terjalin ikatan pembicaraan yang lebih mendalam mulai dari menanyakan tugas hingga menanyakan kabar satu sama lain.

Waktu terus berjalan. Aku menunggu, entah sampai kapan titik dan sesi yang tepat untuk menyatakan perasaan yang sudah kupendam sejak tiga tahun terakhir ini.

Hari di mana aku ingin jujur ingin mengatakan semuanya tentang perasaan yang kupendam akhirnya tiba tanpa kusadari. Tapi aku sangat mempertimbangkan untuk menyatakannya, karena dialah teman masa kecilku yang masih berteman hingga kini.

Aku takut jika ia tidak bisa menerima perasaan ini, dan segalanya justru berubah.

Hari pun berganti. Dalam hati aku bergumam, “Kalau tidak aku nyatakan perasaan ini, bagaimana aku tahu dia suka atau tidak padaku?”

Sebuah pikiran yang logis, tapi penuh adrenalin.

Malam itu juga aku memberanikan diri merelakan harga diriku untuk mengutarakan perasaan ini kepadanya.

Aku memulai dengan pembuka yang dalam, karena aku yakin perasaanku akan dibalas dengan jawaban seperti yang selama ini kuharapkan.

Namun kenyataannya, perasaanku berbalas dengan alasan yang begitu kuat.

Ujarnya, “Wah, aku nggak bisa melanjutkan cerita ini ke soal perasaan yang lebih dalam. Kamu juga tahu, kan? Kita sudah lama berteman, dan aku sudah menganggap kamu seperti keluarga sendiri—tempat aku cerita tentang suka dan duka. Aku nggak bisa meruntuhkan semua yang sudah aku bangun selama ini. Aku hanya menganggap kamu teman yang baik, yang bisa mengayomi aku menjadi pribadi yang lebih baik juga. Maaf ya, aku nggak bisa membalas perasaan tulus kamu. Mungkin perasaan itu bisa kamu utarakan kepada perempuan yang lebih pantas dan akan bahagia bersamamu.”

Malam terasa runtuh seketika. Tidak sesuai dengan ekspektasi yang sudah kurangkai begitu indah ternyata berbalik dengan kenyataan yang sangat pahit. Tapi aku harus menerima itu.

Mungkin ini bukan akhir dari pelabuhan cintaku yang terbaik.

Di sinilah aku belajar, bahwa mencintai terkadang bukan tentang memiliki, melainkan tentang menjaga agar yang dicintai tetap bahagia, meski bukan bersama kita.

Dan begitulah akhirnya.

Kami menjadi dua orang yang pernah dekat, tapi tak pernah benar-benar bersama.

Aku menyimpan namanya dalam ingatan, bukan karena belum bisa melupakan, tetapi karena aku ingin mengingat bahwa cinta tak selalu harus bersemi untuk berarti.

Kini, setiap kali aku melihatnya dari kejauhan, aku hanya tersenyum.

Ada perih yang tersisa, tapi juga ada damai yang tumbuh perlahan.

Mungkin karena akhirnya aku sadar, beberapa orang memang ditakdirkan hanya untuk singgah bukan untuk menetap.


Penulis: Daffa Alkausar (Magang)

20 Oktober 2025

Kepergian Orang Baik

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Beberapa tahun lalu, lahirlah seorang laki-laki yang kini sedang terbaring lemah di rumah sakit. Namanya Rahul. Sejak kecil, ia sudah kehilangan ibunya. Ia tinggal bersama ayah dan saudara laki-lakinya yang tidak terpaut jauh usia. Ayah Rahul memiliki saudara laki-laki yang sudah lama menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Hingga akhirnya, Rahul diangkat oleh pamannya dan menjadi anak tunggal dalam keluarga itu.

Rahul tumbuh besar di rumah pamannya dan hidup layaknya anak-anak lain. Ia memiliki segala yang diinginkannya, hidup mewah bersama pamannya yang kini ia panggil “Bapak”. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Saat berusia sekitar delapan tahun, pamannya bercerai dan menikah lagi dengan perempuan lain. Peristiwa itu membuat Rahul harus memilih: tinggal bersama ibu angkatnya atau pamannya.

Karena masih kecil dan labil, Rahul akhirnya dibawa oleh ibu angkatnya dan hidup bersamanya. Ibu angkatnya bernama Bu Ida. Bersama Bu Ida, Rahul tumbuh menjadi anak yang baik, sederhana, dan penuh kasih sayang.

Hari berganti hari, tahun berganti tahun. Rahul pun dewasa dan menikah dengan seorang perempuan sederhana yang dikenalnya di tempat kerja. Mereka hidup bahagia, meskipun tidak dikaruniai anak. Rahul sering merasa sepi, tetapi ia tetap bersyukur karena memiliki istri yang setia mendampinginya.

Dalam kesendiriannya, Rahul sempat merasa putus asa. Namun, ia selalu mengingat bahwa di balik setiap ujian, Allah telah menyiapkan hikmah yang indah di masa depan. Tahun demi tahun berlalu, hidup Rahul tetap sederhana. Hingga akhirnya, pada Kamis, 16 Oktober 2025, Rahul menghembuskan napas terakhirnya.

Istrinya, Almira, yang sejak kemarin bolak-balik ke rumah sakit, menangis histeris saat melihat jenazah suaminya terbujur kaku. Semua kenangan mereka terlintas di benaknya — kebersamaan tanpa anak, tapi penuh cinta dan kesetiaan. Seketika, Almira pingsan di lorong rumah sakit dan segera dibantu oleh keluarganya.

Beberapa hari kemudian, tepat pada hari ketujuh setelah kepergian Rahul, datanglah seorang laki-laki ke rumah mereka. Pakaian laki-laki itu lusuh dan acak-acakan, suaranya lirih, hampir tak terdengar. Almira mempersilakan laki-laki itu masuk. Saat duduk di ruang tamu, air mata laki-laki itu mulai menetes. Ia bercerita bahwa ia sangat mengenal almarhum Rahul.

Menurutnya, semasa hidup Rahul adalah orang yang dermawan dan ramah kepada semua orang, bahkan kepada orang gila sekalipun. Rahul sering mentraktir dan menolongnya tanpa pamrih.

Kepergian Rahul membuat banyak orang bersedih. Tidak hanya keluarga, tetapi juga mereka yang pernah merasakan kebaikannya. Almira menangis tersedu saat mendengar kisah itu. Ia memeluk ibunya erat, mengenang setiap kenangan bersama sang suami yang kini hanya bisa ia dengar melalui rekaman audio yang diambil saat di rumah sakit.

Bu Ida, ibu angkat Rahul, juga sangat berduka. Ia menyesal karena terlalu sibuk hingga jarang menghabiskan waktu bersama anak angkatnya. Untuk menebus rasa bersalahnya, Bu Ida akhirnya memberikan hadiah tiket umrah kepada Almira, yang rencananya akan berangkat pada bulan November nanti.

“Terima kasih, ya Allah.

Engkau telah mengambil separuh hidupku,

tetapi Engkau juga memberikan banyak hal yang tak pernah kuduga sebelumnya.

Terima kasih, ya Allah,” ucap Almira dalam doanya.


Penulis: Lutfhiyatil Syaqirah (Magang)

Bersyukur Kunci dari Semuanya

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com- Di sebuah desa hiduplah sepasang keluarga yang amat bahagia. Mereka hidup sederhana, namun selalu penuh tawa.

“Ibuuu!” tiba-tiba suara terdengar dari kejauhan sehingga membuat seorang ibu yang sedang fokus mencuci menoleh.

“Kenapa, Nak?” tanya ibu anak itu.

“Ibu, lihat nilai aku! Aku mendapatkan peringkat satu, Bu!” ujarnya dengan sangat bersemangat.

“Huk huk huk…” terdengar suara batuk seseorang. Ternyata itu adalah suara ayahnya.

“Kenapa ini teriak-teriak, Aisyah?” tanya ayahnya dengan bingung.

“Aku dapat peringkat satu, Ayah,” ujar Aisyah.

“Alhamdulillah,” ucap ayahnya sambil menepuk pundaknya.

“Ya sudah, kamu masuk, mandi, dan langsung salat,” ujar ibunya.

“Baik, Bu.”

Sesampainya di kamar, Aisyah langsung mandi dan bergegas untuk salat. Seusai salat, ia melantunkan doanya,

“Ya Allah, terima kasih atas segala anugerah yang Engkau berikan. Terima kasih Engkau telah memberikan keluarga yang sempurna kepada hamba ini. Tapi ya Allah, Aisyah bingung… bagaimana Aisyah harus mengatakan sesuatu yang mungkin akan memberatkan orang tua Aisyah.”

Air mata terus mengalir dan membasahi pipinya.

Ternyata setelah pengumuman peringkat, ada juga pengumuman tentang acara perpisahan sekolah. Sejak saat itu, Aisyah termenung hingga lupa bahwa dirinya baru saja meraih peringkat pertama. Namun, ketika tiba di rumah, ia tetap berusaha tegar dan seolah-olah tidak terjadi apa pun.

“Assalamualaikum, Aisyah.”

Ia segera mengusap air matanya. Ternyata itu ibunya yang masuk.

“Waalaikumsalam, Bu. Masuk,” jawab Aisyah sambil melipat mukenanya.

“Kenapa, Bu?” tanya Aisyah dengan kebingungan, karena ibunya jarang sekali masuk ke kamarnya.

“Tidak, Ibu hanya ingin bertanya. Ini kan kalian sudah tamat, apakah di sekolah sudah diinformasikan tentang acara perpisahan, Aisyah?” tanya ibunya dengan lembut.

“Sebenernya…” Aisyah terdiam dan tampak gemetar. “Sebenarnya sudah, Bu. Cuma… untuk acara perpisahannya agak mahal, Bu. Kalau Aisyah nggak ikut juga nggak apa-apa kok. Lagian ribet, Bu, nanti harus pakai baju ini itu,” ujarnya dengan nada meyakinkan ibunya.

“Tidak. Pokoknya kamu tetap harus ikut acara itu. Nanti pasti akan Ibu usahakan. Jangan pikirkan Ibu atau Ayah, Nak. Tugas kami hanya memenuhi kebutuhanmu,” ujar ibunya tegas namun lembut.

Keesokan harinya tiba — hari pengumpulan uang untuk acara perpisahan.

“Bagaimana ini? Aku harus bilang apa?” bisik hati Aisyah.

“Jadi, hari ini kita akan mengumpulkan uang dan menentukan baju yang akan dipakai untuk acara perpisahan,” ujar Bu Guru.

“Baik, Bu,” jawab para siswa serentak.

Guru pun mulai mengutip uang dari setiap siswa. Saat giliran Aisyah, ia terdiam.

“Maaf, Bu… Aisyah belum punya uang,” ujarnya sambil menunduk.

“Oh, tidak apa-apa. Besok juga boleh, Aisyah,” jawab Bu Guru dengan lembut.

“Oh iya, makasih, Bu,” sahutnya pelan.

“Baiklah, anak-anak. Untuk acara perpisahan nanti, kita akan memakai baju putih, ya. Pastikan semua hadir!” ujar Bu Guru.

“Baik, Buk!” jawab semua murid bersamaan.

Aisyah pun pulang sambil termenung. “Di mana aku harus mendapatkan baju putih itu?” gumamnya dalam hati.

Sesampainya di rumah, ia memanggil ibunya.

“Ibu, Ibu!”

“Iya, Nak, Ibu di dapur,” sahut ibunya.

“Ibu, besok saat perpisahan kami harus pakai baju putih, tapi Aisyah nggak punya baju putih, Bu,” ujarnya lesu.

“Tenang saja, Nak. Tidak usah dipikirkan. Ibu pasti akan usahakan. Sekarang kamu mandi dulu, habis itu makan, ya,” ujar ibunya lembut.

Malam pun tiba. Saat Aisyah tertidur lelap, ibunya masih terjaga, memikirkan bagaimana cara mendapatkan baju putih untuk putrinya. Sambil menatap gorden lusuh yang tertiup angin, ia bergumam, “Apa saya jahit gorden ini saja, ya?”

Tanpa pikir panjang, ia melepas gorden itu dan mulai menjahitnya hingga pagi tiba.

Ketika Aisyah bangun, ia terkejut melihat baju putih yang tergantung di hanger.

“Ibu, ini baju siapa?” tanyanya.

“Itu baju kamu, Nak. Tadi malam Ibu menjahitnya dari kain gorden kita. Maaf ya, kalau tidak sebagus yang kamu inginkan,” ucap ibunya penuh rasa khawatir.

“Tidak, Bu! Ini sudah sangat bagus. Aisyah suka sekali. Terima kasih, Bu,” ujarnya sambil memeluk ibunya.

Dengan semangat, Aisyah mengenakan baju itu dan berangkat ke sekolah.

Sesampainya di sana, halaman sekolah sudah dipenuhi siswa-siswi. Ia datang bersama ibunya, karena ayahnya sedang sakit dan tidak bisa ikut. Seusai acara, diadakan sesi foto bersama.

“Wah, semua bajunya bagus-bagus ya hari ini,” batin Aisyah. Namun, ia tidak merasa malu.

“Aku tidak malu memakai baju ini. Ini malah sangat bagus, karena dijahit dengan penuh cinta dan kasih sayang ibuku. Aku sangat bersyukur,” ucapnya dalam hati.

Seusai acara, mereka pun pulang. Ibu Aisyah sangat bangga padanya, karena Aisyah pulang sambil membawa banyak penghargaan.


Penulis: Intan Sarifah (Magang)
 

19 Oktober 2025

Tidak Konsisten

Foto: Pixabay.com
www.lpmalkalam.com- Suara alarm terdengar begitu keras hingga membuat tidur Intan terganggu. Ia masih sangat mengantuk dan terlelap, namun dengan menahan rasa kantuk yang luar biasa, ia membuka kedua matanya.

“Ya Tuhan!” Intan terkejut ketika melihat jam sudah menunjukkan pukul 07.00 pagi. Ia pun langsung bergegas mandi, merapikan diri, lalu segera berangkat.

“Pak! Pak!” Ia berusaha mengejar bus yang hampir pergi.
“Ayo cepat!” teriak sopir bus.

Ketika tiba di kampus, ternyata pelajaran sudah dimulai karena jadwalnya dimajukan untuk menyesuaikan dengan kegiatan dosen.

“Permisi, Bu. Apakah saya boleh masuk?” tanya Intan kepada dosen yang sedang menjelaskan.

“Iya, silakan duduk, Intan. Namun, maaf, untuk hari ini kamu tidak saya anggap hadir,” jawab dosen.

“Tapi kenapa, Bu? Saya hanya terlambat sebentar,” sahut Intan.

“Bukan masalah lama atau sebentar. Ibu ingin kamu terbiasa disiplin dan pandai mengatur waktu. Meski kamu terlambat hanya sebentar, itu tetap disebut tidak disiplin. Besok-besok jangan diulang lagi. Sudah bagus Ibu masih izinkan kamu masuk kelas,” ujar dosen dengan tegas.

Seketika Intan terdiam dengan wajah pucat. Padahal, ia biasanya termasuk mahasiswa yang disiplin dan jarang melanggar aturan.

“Baik, anak-anak, sekarang kita lanjutkan lagi materinya,” ucap dosen.

Kelas pun menjadi hening. Dosen melanjutkan penjelasan, sementara Intan masih termenung memikirkan ucapan dosennya tadi. Ia tidak fokus mendengarkan pelajaran.

“Intan, apa kesimpulan dari penjelasan Ibu tadi? Coba kamu bangun dan jelaskan apa yang kamu dengar,” ujar dosen sembari memanggilnya.

Seketika Intan bingung. Ia tidak tahu harus mengatakan apa karena tadi hanya diam termenung di tempat duduknya.

“Intan!” panggil dosen sekali lagi dengan tegas.

“I… iya, Bu. Maaf, Intan tidak bisa menjelaskannya,” jawabnya dengan suara gemetar.

“Kamu sudah terlambat, tidak menyimak pula. Untung kamu masih saya izinkan masuk kelas. Seharusnya kamu mendengarkan dengan baik!” ujar dosen dengan nada marah.

Setelah kelas selesai, dosen pun keluar, sementara Intan masih termenung. Ia berpikir, ada apa denganku hari ini?

“Tan, nggak mau ikut ke kantin?” tanya Nadin sambil berteriak.
“Enggak, kalian duluan aja,” jawab Intan dengan lesu sambil berjalan keluar kelas.

Ketika Nadin kembali ke kelas, ia melihat Intan masih duduk sambil menumpangkan kepalanya di atas meja.
“Eh, Tan, kamu nggak jajan? Kan belum sarapan, kan?” tanya Nadin.
“Udah, nggak apa-apa. Udah biasa,” jawab Intan pelan.

Nadin pun menghampirinya dan duduk di sampingnya.
“Ada apa denganmu hari ini, Tan? Nggak seperti biasanya kamu telat. Habis itu, kamu juga nggak bisa jawab pas dosen nanya,” tanya Nadin heran.

“Ini murni salahku, Nad. Aku semalam begadang nonton drakor sampai larut. Saking serunya episode-nya, aku lupa waktu tidur sampai akhirnya terlambat seperti ini,” jelas Intan.

“Oh, gitu. Tapi kenapa kamu sedih dan nggak semangat? Itu kan salahmu sendiri juga, Tan,” ujar Nadin sambil meniru posisi Intan yang menumpangkan kepala di meja.

“Iya sih, salahku. Cuma aku kepikiran nilainya aja. Terus aku juga pusing, mungkin karena semalam begadang,” jawab Intan dengan suara lemah.

“Makanya, Tan, mulai sekarang utamakan kewajibanmu. Jangan sampai hobi lebih duluan! Kita sebagai mahasiswa harus pandai-pandai mengatur waktu, seperti kata Pak Dicky: ‘Kita harus bisa memanajemen waktu dengan baik.’” ujar Nadin memberi nasihat.

Penulis: Intan Sarifah (Magang)

Hujan Sesaat

Foto: Pexels.com
www.lpmalkalam.com- Langit sore itu tampak seperti kanvas abu-abu. Awan menggumpal tebal, menggantung berat di atas atap rumah-rumah kecil di gangku. Udara yang tadi panas mulai berubah menjadi lembap dan sejuk, menandakan hujan sebentar lagi akan datang.

Aku duduk di teras rumah, sendirian, sambil memainkan cangkir teh hangat yang sudah hampir dingin. Sejujurnya, aku menunggu hujan. Bukan karena ingin melihat air turun dari langit, tetapi karena setiap kali hujan turun, rasanya seperti ada sesuatu yang ikut jatuh sesuatu yang selama ini tertahan di dada. Dan sore ini, entah kenapa, perasaan itu terasa lebih berat dari biasanya.

Dulu, setiap kali hujan turun, aku tidak pernah sendiri. Ada seseorang yang selalu datang dengan payung biru dan senyum cerobohnya. Namanya Fahrial.

Kami tumbuh bersama, dari bocah yang bermain petak umpet di halaman, sampai remaja yang sering nongkrong di pos ronda sambil mendengarkan hujan. Dia orangnya ceria, susah diam, dan entah bagaimana selalu tahu cara membuat aku tertawa walau sedang kesal. Tapi waktu berjalan, dan seperti kebanyakan cerita masa kecil, kami akhirnya renggang.

Masalahnya sepele. Cuma soal ulangan. Waktu itu aku minta contekan, tapi dia tidak mau memberi. Aku marah, lalu besoknya tidak mau bicara dengannya. Anak-anak lain malah mengejek kami seperti pasangan yang sedang putus. Tapi bedanya, kami benar-benar tidak berbaikan lagi, sampai akhirnya dia pindah ke luar kota.

Sejak itu, setiap kali hujan turun, aku selalu ingat dia payung birunya, tawanya, bahkan suaranya saat bernyanyi asal-asalan di tengah hujan. Semua masih jelas, meski sudah bertahun-tahun berlalu.

Aku menatap langit yang mulai gelap. Rintik hujan pertama jatuh di tangan, disusul suara gemericik lembut di atap. Satu menit, dua menit, tiga menit… hujan berubah menjadi deras. Aku menarik napas panjang, mencoba menikmati suara hujan yang menenangkan.

Dan di tengah suara itu, aku mendengar langkah kaki. Suara itu mendekat berat, tapi teratur. Lalu terdengar suara seseorang di depan pagar.

“Masih suka duduk di sini tiap hujan, ya?”

Aku menoleh cepat. Di sana berdiri seorang pria dengan jas hujan abu-abu dan payung hitam yang salah satu sisinya sobek. Rambutnya basah, tapi senyumnya tidak berubah sedikit pun.

“Fahrial?” suaraku nyaris bergetar.

Dia nyengir. “Sudah lupa muka aku, ya?”

Aku tertegun. Lima tahun tidak bertemu, dan tiba-tiba dia muncul begitu saja di tengah hujan sore yang entah kenapa terasa begitu pas.

“Aku kira kamu sudah pindah selamanya,” kataku pelan.

Dia menutup payungnya, lalu duduk di kursi sebelahku tanpa basa-basi. “Pindah, sih, iya, tapi tidak selamanya. Lagian, kota sekecil ini susah dilupain apalagi orang-orangnya.”

Aku menghela napas. “Masih suka ngomong ngelantur, ya.”

Dia tertawa kecil. “Masih. Soalnya kalau aku diam, kamu pasti malah mikir aneh-aneh.”

Kami berdua tertawa. Aneh, tapi hangat. Rasanya seperti membuka kembali halaman lama yang selama ini kusimpan rapat-rapat.

Beberapa menit kemudian, suasana hening lagi. Hujan masih turun deras, tapi kini terasa menenangkan. Fahrial memandangi jalan yang mulai tergenang air, lalu berkata pelan,

“Aku sering kepikiran, kamu masih marah nggak sih?”

“Marah?” aku menatapnya. “Nggak, udah lama banget. Aku bahkan lupa kenapa dulu kita bisa berantem.”

Dia tersenyum samar. “Aku nggak lupa. Karena aku nggak mau kasih kamu contekan waktu ulangan IPA.”

Aku tertawa, agak malu. “Serius cuma itu?”

“Iya. Dan aku nyesel waktu kamu beneran nggak mau ngomong lagi sama aku. Aku kira kamu cuma bercanda.”

Aku menunduk, menatap ujung sendalku yang basah. “Aku juga nyesel. Tapi waktu itu kita masih bocah, belum ngerti apa-apa.”

Dia mengangguk. “Iya, dan ternyata butuh lima tahun buat nyadarin aku kalau nggak semua masalah harus ditinggal pergi.”

Aku menatapnya lama. “Dan ternyata butuh hujan sesaat buat bikin kamu balik ke sini.”

Dia tersenyum, kali ini lebih lembut. “Aku udah lama pengen balik, tapi baru sekarang punya cukup keberanian.”

Hujan mulai mereda. Udara jadi lebih dingin, tapi anehnya dadaku justru terasa hangat. Kami tetap duduk di sana, menikmati sisa rintik yang pelan-pelan berhenti.

“Masih ingat nggak waktu kita pernah main hujan bareng di lapangan?” tanyanya tiba-tiba.

Aku tersenyum. “Yang waktu kamu kepleset terus nyungsep di lumpur itu?”

Dia ngakak. “Nah, itu! Aku kira kamu bakal nolongin, eh malah ketawa sampai nangis.”

Aku ikut tertawa, membayangkan kejadian itu. Betapa polosnya kami dulu, betapa mudahnya tertawa tanpa memikirkan apa pun.

Tawa kami pelan-pelan hilang, diganti hening yang nyaman. Hujan benar-benar berhenti, menyisakan langit sore yang mulai oranye di ujung barat. Anak-anak kecil berlarian di luar, menginjak genangan air sambil bersorak-sorai.

Fahrial berdiri, menatap langit. “Kayaknya Aku harus pulang. Udah sore.”

Aku ikut berdiri. “Udah lama nggak lihat kamu, masa baru datang udah pergi.”

Dia menatapku, matanya jernih tapi dalam. “Kadang, Fa, hujan nggak harus lama buat bikin bumi segar lagi. Kadang cuma sebentar, tapi cukup buat nyembuhin apa yang kering.”

Aku terdiam. Kata-katanya menancap di hati seperti suara hujan di malam sepi.

Dia melanjutkan, “Aku nggak tahu besok bakal balik lagi ke kota mana, tapi sore ini… aku cuma pengen nutup hal yang dulu belum sempat.”

Aku tersenyum pelan. “Kamu berhasil.”

Dia membalas senyumku, lalu berjalan pelan menuruni tangga teras. Payung hitamnya kembali terbuka, meski hujan sudah benar-benar berhenti. Langkahnya menjauh, sampai akhirnya hanya tersisa punggungnya dan bayangan panjang di jalan yang masih basah.

Aku duduk lagi, memandangi langit yang perlahan berubah cerah. Dalam hati, aku tahu kadang pertemuan singkat bisa berarti lebih daripada pertemuan panjang yang hampa.

Hujan sore itu memang cuma sesaat, tapi cukup untuk menghapus jarak lima tahun di antara kami.

Dan mungkin, jika hujan berikutnya datang, aku tidak akan duduk sendirian lagi di teras ini.
 

Penulis: Daffa Alkausar (Magang)

20 Agustus 2025

BISIKAN HATI

Foto: Pexel.com

 www.lpmalkalam.com- 

Semilir angin kurasakan berhembus menerpa wajahku. Ternyata sudah sejauh ini aku bertahan. Tiga tahun telah berlalu setelah kejadian itu. Namaku Maura Sanjaya, biasa dipanggil Ara. Kejadian tiga tahun lalu adalah hal yang paling pilu yang pernah kurasakan. Mengingatnya pun serasa hati ini masih pedih. Saat itu aku sedang menjalin hubungan dengan seorang laki-laki bernama Rian Ardiansyah. Ya, nama itu telah mengukir memori indah sekaligus perih dalam hidupku.

Aku dan dia telah menjalin hubungan selama empat tahun. Bersamanya aku merajut masa depan. Dia tak pernah sekalipun mengecewakanku, bahkan selalu membuatku bahagia. Setiap tingkah lakunya yang manis membuatku nyaman berada di dekatnya. Dia bisa memposisikan dirinya sebagai teman, kakak, ayah, ataupun kekasih. Rasanya aku sangat beruntung memilikinya saat itu. Dia berjanji bahwa suatu saat nanti ia akan meminangku. Hingga pada tiga bulan terakhir sebelum kejadian itu, dia berubah. Bahkan tak menggubrisku sama sekali. Dia yang begitu hangat, mendadak menjadi dingin.

Entah apa yang membuatnya berubah. Ia bahkan menghilang tanpa kabar setelah itu. Hari demi hari aku terpuruk karena kepergiannya. Hidupku terasa sesak. Aku berpikir keras apa salahku. Kucoba hubungi dia berkali-kali, tetapi tetap nihil, tak ada balasan darinya. Hingga suatu hari ia menghubungiku melalui telepon. Hatiku berdegup kencang, rasa rinduku membuncah. Ingin sekali kudengar alasan panjang mengapa ia pergi tanpa kabar. Dalam hati aku berharap bahwa kabar darinya bukanlah kabar buruk, melainkan kabar bahagia.

“Hai, Ara, sudah lama ya kita tidak berkabar,” sapanya dari seberang.

Aku tersenyum meski sudah tak sabar menunggu penjelasannya.

“Hai, Rian, bagaimana kabarmu? Kau tahu, setiap detik aku menunggu kabar darimu.”

“Ara, maafkan aku ya. Rasanya hubungan kita tidak perlu dilanjutkan lagi. Aku dijodohkan oleh orang tuaku dan aku menerima perjodohan itu.”

Duniaku seakan runtuh seketika. Aku terpaku dengan kata-katanya. Bagai petir menyambar, hatiku perih mendengarnya, terlebih karena itu terucap langsung dari mulutnya. Kuterdam sejenak, tak menggubrisnya yang terus memanggilku lewat telepon.

Air mataku mengalir begitu saja. Teringat janji-janji manisnya yang ternyata semu belaka. Kuseka air mataku, berusaha agar suaraku tidak terdengar parau.

“Alasanmu apa, Rian, menerima perjodohan ini?” tanyaku, berharap ia memberi penjelasan.

“Kurasa perasaanku sudah hilang untukmu, Ara. Aku bosan denganmu. Aku juga merasa kita tidak cocok.”

Aku tak bisa berkata-kata. Kututup teleponku. Seketika tubuhku lemas tak berdaya. Pikiranku terus terngiang-ngiang: lalu apa arti dari hubungan empat tahun itu dengan segala kenangannya?

Kuputuskan untuk pergi berziarah ke makam Sunan Ampel. Berharap ada ketenangan jiwa di sana dan membuat perasaanku lebih baik. Sesampai di sana, kuluapkan segala emosi yang kurasakan selama ini. Tangisku pecah tak terbendung. Dalam tangisan itu, terkadang kusalahkan diriku sendiri. Mengapa aku harus bertemu dengan lelaki sepertinya? Mengapa aku harus jatuh cinta? Rasanya tak sanggup aku menahan segala pedih ini.

Cukup lama aku berada di sana, mengutuki diriku yang percaya dengan segala janji manisnya. Sepulang dari sana, entah mengapa hatiku serasa lebih tenang dan lebih ikhlas. Meski aku tahu luka itu butuh waktu untuk sembuh dengan sendirinya. Hari-hari berikutnya kuj jalani dengan lebih tenang dan ikhlas. Aku ikhlas menerima segala yang sudah terjadi. Kupercaya bahwa Allah tahu yang terbaik untukku. Aku yakin Allah berhak membolak-balikkan hati seseorang. Aku rela menerima segala takdir yang telah diberikan.

Di balik setiap ketentuan Allah, pasti ada hikmah. Namun tak bisa kupungkiri, setelah tiga tahun berlalu, aku masih tak bisa membuka hati untuk siapa pun. Saat ini, aku fokus memperbaiki diri. Terkadang aku ingin merasakan cinta sama seperti teman-temanku. Tetapi aku tak ingin memaksakan diriku. Biarlah semua berjalan apa adanya, sambil terus kupanjatkan doa agar Allah memberikanku pengganti yang terbaik menurut-Nya. Aku merasa tak apa lelah menanti, jika kelak orang itu yang akan membuatku bahagia dan menerimaku apa adanya.

Kejadian itu membuatku belajar bahwa tak semua yang kita cintai akan berakhir menjadi milik kita. Cukup cintai sewajarnya, karena jika suatu saat ia pergi, kita sudah tahu bahwa segala sesuatu yang datang pasti akan pergi. Satu lagi kata-kata dari temanku yang tak akan kulupa.

“Tak perlu buru-buru mencari yang baru, karena yang terbaik akan datang dengan sendirinya.”


Penulis: Maulidyatul Khaira

Editor: Putri Ruqaiyah

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah (SUNA) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam UIN SUNA Lhokseumawe, 0823-6508-3003 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.