HEADLINE

Latest Post
Loading...

02 January 2021

Tetesan Keringat Pengrajin Tembikar

 Tetesan Keringat Pengrajin Tembikar

Oleh: Rita Suryani

www.lpmalkalam.com


Foto : hahehozonk.blogspot.com

Tembikar merupakan benda unik berbahan dasar tanah liat dari sawah serta sekam bakar pabrik padi. Perkembangan zaman membuat tembikar tak lagi menjadi primadona. Memproduksi tembikar memang bukan hal mudah, membutuhkan tenaga yang besar, waktu yang lama, kesabaran yang kokoh, serta ketelitian dalam mengolahnya hingga menjadi sebuah benda yang unik. Keletihan melestarikan tembikar berdampak pada Desa Me, Kecamatan Tanah Pasir, Kabupaten Aceh Utara. Dulunya sebagian besar penduduk desa itu berprofesi sebagai pengrajin tembikar.

Mengingat tahapan pembuatannya yang membutuhkan tenaga serta waktu yang lama, membuat produksi tembikar hampir punah dan hanya tersisa dua orang di desa tersebut. Prosesnya membutuhkan waktu yang lama, mulai dari persiapan bahan, pembentukan, penjemuran, pembakaran hingga penyempurnaan. Sebagian pot cukup pada tahap pembakaran, vas dan celengan dapat dihiasi dengan aksesori dan pewarnaaan yang memikat mata pembelinya. Proses tahapan pembuatannya tergantung pada bentuk dan kegunaan tembikar tersebut.

Salah satunya Nur Hafifah yang kerap disapa Kak Fah merupakan salah satu yang bertahan dari sekian banyak pengrajin tembikar di Desa Me. Pekerjaan itu telah ia geluti selama puluhan tahun. Rumah produksi itu hanya membuat pot, vas, dan celengan saja, Mentari terbit dari arah timur menemani wanita pengrajin tembikar itu mengerjakan tugasnya. Proses persiapan tanah liat dengan sekam bakar dicampur secara merata, dan proses pembentukan yang sangat membutuhkan keahlian dalam membuatnya.

Potret lokasi pembentukan beralaskan tanah dan atap seadanya yang dibuat agar tetesan hujan tidak melintasi pot yang sedang diukir rapi. Kak Fah yang duduk di bangku kayu kecil memfokuskan kedua bola matanya kepada tembikar yang sedang dibuat. Tanah yang sudah ulet diletakkan di atas alat putar agar terkesan mudah dibentuk. Tanah itu berputar seiring berputarnya bidang lingkaran di bawahnya. Sinar mentari mulai terlihat dari celah-celah dedaunan, Kak Fah masih menyelesaikan pot bunga yang hampir menyerupai pot di sampingnya. Tangan dan kaki yang berlumuran tanah harus ia jalani untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah. Banyaknya pot yang dihasilkan tergantung pada ukuran dan bentuk pot, biasanya menghabiskan waktu satu hari sampai 3 hari dalam proses pembentukan. Harganya juga bervariasi mulai dari lima ribu hingga ratusan ribu rupiah.

Wanita kelahiran 1971 itu, menjadikan tembikar sebagai mata pencahariannya. “Dulu hampir setengah penduduk di desa itu berprofesi sebagai pengrajin tembikar. Membutuhkan kesabaran serta waktu yang lama membuat masyarakat tidak lagi memproduksi pot tanah liat itu. Dari sekian banyak pengrajin tembikar, hanya saya dan tetangga saya di sebelah yang masih membuatnya. Kami belajar membuat tembikar dari pelatihan yang diadakan oleh pihak industri, pengajarnya langsung didatangkan dari Bandung. Proses belajarnya selama bertahun-tahun baru menghasilkan sebuah karya,” jelasnya.

Sang penerang siang mulai mengeluarkan aura panasnya hingga ke penjuru bumi desa itu. Langit cerah pertanda surya berpihak kepada seniman wanita itu untuk melakukan pembakaran di halaman rumah. Persiapan alat dan proses pembakaran dibantu oleh suami dan anaknya. Pembakaran itu bertujuan untuk mempertahankan ketahanan pot dan terkesan berwarna. Panasnya surya mengerjap dalam pori, membakar kulit yang sudah keriput dan kusam. Keringat di wajahnya melintasi pipi yang terbakar uap sijago merah, bagaikan dedaunan yang disapa tetesan hujan.

Sengatan matahari tidak mampu membakar semangatnya yang berkobar. Pot dan bahan bakarnya disusun rapi secara teliti supaya tidak berjatuhan dan uap panas meresap secara sempurna. Hembusan angin membuat asap tidak lagi serempak dalam gepulannya. Menaburkan aromanya ke pakaian dan kulit yang terpapar sinar surya. Suara letusan pot menandingi hembusan angin, letusan itu sebagai pertanda bahwa ada pot yang pecah karena tanah liat dengan sekam bakar tidak tercampur secara merata.

Pot yang retak sebelum proses pembakaran dapat dibentuk kembali, sedangkan pot yang pecah setelah pembakaran tidak dapat diolah lagi seperti semula. Kepungan asap membuat bola mata pengrajin pot tanah liat itu berkaca kaca. Menembus rongga pernafasan yang membuatnya harus menjauh dari serangan asap. Tetapi, ia harus tetap mengawasi supaya jilatan api tidak menguasai pot. Hal itu dilakukan supaya pot berwarna merah bata seperti yang diminati oleh kebanyakan pelanggan.

“Penjualan pot ada yang dipesan ada yang dibuat langsung tanpa dipesan. Banyak dari pelanggan yang menyukai pot warna merah bata, dan ada juga yang suka warna hitam, tetapi jarang. Padahal warna hitam lebih tahan lama,” ujar wanita kelahiran Me Matang Panyang tersebut. Ketika sijago merah mulai menguasai pot dan mengalahkan kepungan asap, Kak Fah dan suaminya mencoba memisahkan pot yang sudah berwarna merah bata dengan mengambil satu persatu menggunakan kayu ukuran panjang. Mengumpulkan dan merapikan pot yang sudah dingin dengan tenaga yang tersisa.

Editor : Redaksi


banner
Previous Post
Next Post
Comments
0 Comments

0 comments:

Pers Mahasiswa AL-Kalam, IAIN Lhokseumawe Phone. 0852 6017 5841 (Pimpinan Umum). Powered by Blogger.