![]() |
Foto: Kompas.com |
Sebagai mahasiswa yang sedang belajar memahami dinamika pemerintahan dan tata kelola negara, saya melihat kasus ini bukan hanya soal hukum semata. Ini soal bagaimana negara kita memperlakukan pengambilan keputusan publik, terutama dalam kondisi krisis. Bila seorang pejabat dapat dijerat hukum pidana atas keputusan kebijakan yang diambil dalam batas kewenangannya tanpa keuntungan pribadi, maka muncul bahaya besar: kriminalisasi terhadap proses pengambilan kebijakan.
Kita tahu bahwa setiap kebijakan publik selalu mengandung risiko dan dilema. Dalam kasus ini, keputusan membuka keran impor diambil sebagai respons atas harga gula yang melonjak, yang tentu memberatkan masyarakat luas. Dampaknya memang tidak seratus persen positif; bisa jadi ada pihak yang merasa dirugikan, seperti petani lokal. Namun, apakah keputusan yang tidak sempurna secara ekonomi lantas layak dianggap sebagai tindak pidana?
Yang lebih menggelisahkan, tidak ada bukti adanya niat jahat dari Tom Lembong. Tidak ada indikasi bahwa ia menyalahgunakan kekuasaan, mengambil untung pribadi, atau bertindak di luar wewenangnya. Ia membuat keputusan di tengah kondisi mendesak. Lantas, jika tindakan pejabat yang masih dalam koridor hukum bisa dijerat pidana, bagaimana kita bisa membedakan antara keputusan publik dan perbuatan kriminal?
Kekhawatiran ini makin tajam jika kita memperhatikan situasi politik yang melingkupi kasus tersebut. Tom dikenal sebagai pendukung salah satu tokoh politik oposisi. Putusan dijatuhkan di tengah situasi politik pascapemilu yang penuh ketegangan. Wajar jika publik bertanya: ini murni penegakan hukum atau ada aroma kepentingan politik? Bila batas antara hukum dan kekuasaan makin kabur, maka kepercayaan rakyat terhadap sistem peradilan akan terus melemah.
Sebagai bagian dari generasi muda, saya tidak ingin mudah terjebak dalam teori konspirasi. Namun, saya juga percaya bahwa hukum harus dijalankan dengan akal sehat dan rasa keadilan. Bila para pejabat mulai takut mengambil keputusan karena ancaman kriminalisasi, maka kita akan kehilangan kepemimpinan yang berani yang berani bertindak untuk kepentingan rakyat, meski penuh risiko.
Keadilan dalam hukum tak hanya soal menerapkan aturan, tetapi juga memahami konteks, niat, dan dampak. Kita perlu bisa membedakan mana kesalahan administratif dan mana perbuatan jahat yang memang ditujukan untuk merugikan negara. Jika perbedaan itu hilang, hukum bisa berubah menjadi alat untuk membungkam, bukan untuk melindungi keadilan.
Tulisan ini bukan tentang membela individu tertentu, tetapi tentang mempertanyakan apakah demokrasi kita masih memberi ruang bagi pengambilan kebijakan yang progresif dan berpihak pada rakyat. Di tengah situasi seperti ini, rasa percaya terhadap hukum dan masa depan demokrasi sedang diuji. Dan sebagai generasi penerus, kita tak boleh tinggal diam.
Penulis: Arrahmadan Jaminur Berutu
Editor: Putri Ruqaiyah