![]() |
Foto: Pexels.com |
Pengesahan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah demokrasi kita masih hidup? Jika kedaulatan berada di tangan rakyat, mengapa kebijakan strategis justru diambil tanpa persetujuan mereka?
Militer di Jabatan Sipil, Pelanggaran Supremasi Sipil?
Salah satu poin kontroversial dalam revisi ini adalah diperbolehkannya prajurit aktif menduduki jabatan sipil di 14 kementerian/lembaga negara. Ini bukan sekadar perubahan teknis administratif, tetapi ancaman bagi prinsip supremasi sipil yang menjadi fondasi utama negara demokrasi. Jika militer semakin banyak berperan dalam urusan sipil, di mana batas antara militerisme dan demokrasi?
Pentingnya Partisipasi Publik dalam Kebijakan Negara
Demokrasi tidak boleh hanya menjadi slogan. Keputusan yang menyangkut kepentingan publik harus melibatkan publik. Namun, dengan disahkannya RUU ini, publik dipaksa menerima keputusan yang tidak merepresentasikan aspirasi mereka.
Tapi perjuangan tidak boleh berhenti di sini. Ada beberapa langkah yang masih bisa diambil:
1. Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi (MK): Masyarakat sipil dapat mengajukan judicial review untuk menguji kesesuaian UU ini dengan konstitusi.
2. Edukasi Publik: Semakin banyak masyarakat sadar akan dampaknya, semakin kuat gerakan untuk melindungi demokrasi.
3. Pengawasan Implementasi: Meskipun sudah disahkan, penerapannya harus tetap diawasi agar tidak disalahgunakan.
4. Kolaborasi dengan Organisasi Sipil: Menggalang kekuatan bersama untuk mengawal jalannya pemerintahan yang tetap berpihak pada rakyat.
Diam atau Bersikap?
Saat ini, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan diam dan menerima kenyataan bahwa suara kita hanya sekadar latar belakang dalam ruang keputusan negara? Atau, kita memilih untuk terus bersuara, memastikan bahwa demokrasi tetap hidup dan tidak berubah menjadi sekadar formalitas?
Demokrasi sejati tidak hanya tentang pemilu lima tahunan, tetapi tentang bagaimana suara rakyat terus diperhitungkan dalam setiap kebijakan negara. Mari kita pastikan bahwa suara kita bukan hanya gema di dinding kekuasaan, tetapi kekuatan yang menggerakkan perubahan.
Oleh: Ismi Saydina Lubis
Editor: Redaksi