![]() |
Foto: Putri Ruqaiyah |
Setiap tahun, kita menyaksikan ribuan mahasiswa berdemo menuntut keadilan bagi masyarakat kecil mulai dari isu kenaikan harga bahan pokok, kesejahteraan buruh, hingga penegakan hukum yang adil. Sayangnya, sering kali perjuangan mereka baru mendapat perhatian setelah aksi besar-besaran terjadi. Apakah ini berarti sistem komunikasi antara rakyat dan pemerintah tidak berjalan dengan baik?
Sejarah menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa memiliki peran penting dalam perubahan sosial di Indonesia. "Sejak era Reformasi, gerakan mahasiswa selalu menjadi kekuatan utama dalam memperjuangkan perubahan sosial dan kebijakan publik di Indonesia," tulis akun @historia_id dalam unggahan mereka di Twitter/X (2023). Namun, seharusnya ada mekanisme yang lebih efektif dalam menyampaikan aspirasi tanpa harus mengorbankan waktu, tenaga, bahkan keamanan mahasiswa dan masyarakat yang turun ke jalan.
Sayangnya, realita berkata lain. Menurut laporan Kompas, pemerintah sering kali merespons tuntutan mahasiswa hanya setelah adanya aksi demonstrasi besar-besaran, yang menunjukkan lemahnya komunikasi formal antara rakyat dan pemerintah. Selain itu, penelitian yang dipublikasikan di The Conversation Indonesia juga mengungkapkan bahwa jalur audiensi dan petisi sering kali hanya dianggap sebagai formalitas tanpa tindak lanjut nyata dari pihak pemerintah.
Demonstrasi mahasiswa bukanlah sekadar aksi turun ke jalan, melainkan refleksi dari kegagalan komunikasi antara rakyat dan pemerintah. Jika setiap kebijakan benar-benar berpihak kepada rakyat, apakah mahasiswa masih perlu berteriak di jalanan? Jawabannya ada pada bagaimana pemerintah merespons suara rakyat sebelum mereka merasa perlu untuk turun ke jalan.
Oleh: Putri Ruqaiyah
Editor: Redaksi