Foto: Intan Nuraini |
Berbeda dengan seminar pada umumnya, kegiatan ini tidak menyediakan kursi untuk duduk. Sebagai gantinya, hanya tersedia tikar, dan para tamu, pemateri, serta audiens duduk di lantai. Langkah ini sengaja diambil untuk melambangkan budaya Aceh yang sering kali mengedepankan kebiasaan duduk di lantai dalam berbagai kesempatan sosial dan budaya.
Seminar dimulai dengan pemaparan materi oleh Yulizar, S.Sos., M.Sos., Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Aceh Utara, yang membahas arah kebijakan kebudayaan di wilayah Indonesia terkhususnya Aceh Utara. Dalam sesi ini, Yulizar menjelaskan beberapa poin penting, seperti pengelolaan objek pemajuan kebudayaan, undang-undang kemajuan kebudayaan, hingga upaya melestarikan entitas kebudayaan lokal.
Sesi kedua diisi oleh Sukarna Putra, kurator Museum Islam Samudera Pasai, yang membahas makna ornamen Misykah. Sukarna mengungkapkan bahwa Misykah, yang berarti lentera, memiliki simbolisme mendalam terkait cahaya ilmu dan gagasan di masa lalu. Ornamen ini sering ditemukan pada makam tokoh penting kerajaan, salah satunya Sultanah Nahrasyiyah.
Ulfa Ardila, mahasiswa Politeknik Negeri Lhokseumawe, mengungkapkan kekagumannya atas seminar ini. “Kegiatan ini sangat informatif dan memberikan wawasan baru, terutama mengenai ornamen Misykah Samudera Pasai yang jarang dibahas di kampus,” ujarnya.
Mahasiswa IAIN Lhokseumawe, Maulidya, berharap seminar serupa bisa dilanjutkan dengan topik-topik yang lebih mendalam dan ruang diskusi yang lebih interaktif. Seminar ini sukses memperkenalkan kekayaan budaya Samudera Pasai kepada masyarakat, sekaligus mendorong pelestarian dan pemahaman lebih dalam tentang sejarah dan makna terkait ornamen Misykah.
Reporter: Zuhra
Editor: Redaksi