HEADLINE

Latest Post
Loading...

28 August 2017

Menuju Kampus Peradaban "Refleksi 1 Tahun IAIN Lhokseumawe"

Oleh: Adnan, S.Kom.I., M.Pd.I
Pada 1 Agustus 2016 lalu, Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2016 tentang alih status Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Lhokseumawe menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe. Sejak saat itu, kampus yang berada di bumi pase ini berubah menjadi IAIN di Wilayah Lhokseumawe. Pasca alih status dari STAIN ke IAIN diharapkan memberikan dampak signifikan dalam pembangunan sumber daya manusia dan mengembalikan kejayaan Samudera Pase di masa silam.

Sebab itu, pada 1 Agustus 2017 beberapa hari lalu, IAIN Lhokseumawe memperingati satu tahun (milad perdana) sejak alih status pada 2016 lalu. Tema yang diusung dalam milad perdana ini yakni; Akselerasi Intelektual Akademik Menuju Kampus Peradaban’. Tema tersebut mengusung harapan besar untuk mempercepat perkembangan dan pengembangan keilmuan (ontologis, epistemologis, dan aksiologis) di masa depan, agar IAIN Lhokseumawe menjadi Kampus Peradaban yang mampu bersaing di tingkat regional, nasional, dan internasional.

Trilogi Samudera Pase

Dalam pidato milad (1/8/2017), Dr H Hafifuddin MAg (Rektor IAIN Lhokseumawe) mengungkapkan bahwa, ada beberapa kekuatan Samudera pase yang layak diadopsi untuk pengembangan IAIN Lhokseumawe menjadi Kampus Peradaban di masa depan. Pertama, Samudera pase dikenal memiliki raja yang adil, ‘alim, dan berwibawa, yakni Sulthan Malik Ash-Shalih. Ini menunjukkan bahwa kekuatan kepemimpinan (power of leader) menjadi landasan dalam pengembangan IAIN Lhokseumawe ke depan.

Karena itu, diperlukan tangan-tangan keikhlasan dan kesungguhan seluruh stakeholder di Aceh untuk mewujudkan kualitas pelayanan pendidikan di kampus ini. Sehingga IAIN Lhokseumawe benar-benar menjadi kampus unggulan di wilayah pesisir utara Aceh dalam mencerdaskan generasi Sulthan Malik Ash-Shalih di masa depan. Dengan demikian, kejayaan Islam Samudera pase bukan hanya untuk dikenang dan dimesiumkan, tapi dapat menjadi motor penggerak untuk mengembalikan kejayaan tersebut.

Kedua, Samudera pase dikenal memiliki para Ulama (power of ulama). Dalam setiap kerajaan di Aceh tempo dulu, keberadaan Ulama sangat penting dan dianggap penting dalam pembangunan. Artinya, kemajuan dan kejayaan kerajaan Aceh masa silam tidak bisa lepas dari peran dan keterlibatan para Ulama di masanya. Ini menunjukkan bahwa, kepemimpinan Ulama urgen dalam mengawal pembangunan. Sebab itu, jika Samudera pase ingin kokoh berdiri kembali, maka para Ulama harus terlibat dan dilibatkan dalam pembangunan.

Ketiga, Samudera pase dikenal dengan kekuatan keilmuan (power of knowledge). Artinya, budaya ilmiah menjadi sebab Samudera pase dikenal hingga sekarang, bahkan hingga masa yang akan datang. Sebab itu, keberadaan ilmu merupakan pondasi dalam membangun Aceh ke depan. Maka, keberadaan IAIN Lhokseumawe diharapkan dapat menjadi pendobrak, lokomotif, dan motor penggerak untuk mengembalikan kejayaan Samudera pase di masa silam.

Dengan demikian, ‘peradaban’ sebagai tagline kampus mampu diwujudkan dengan memiliki tiga kekuatan (power) besar di atas. Yakni kekuatan kepemimpinan, kekuatan keulamaan, dan kekuatan keilmuan. Keterpaduan ketiga kekuatan itu perlu dikembangkan agar terwujudnya; Kampus Peradaban di bumi pase. Sehingga IAIN Lhokseumawe akan mampu mengepakkan sayap dan terbang menjulang tinggi ke seluruh penjuru dunia.

Selain itu, karena filosofi, semangat, daya juang, dan karakter IAIN Lhokseumawe berangkat dari Samudera pase. Maka, IAIN Lhokseumawe memiliki tanggungjawab moril untuk merawat, melestarikan, serta mempertahankan khazanah historisitas dan otentisitas Samudera pase. Hal ini dapat diwujudkan dengan melahirkan, semisal, jurusan sejarah Aceh, atau matakuliah khusus (takhassus) tentang sejarah Aceh. Ini penting dilakukan agar seluruh civitas akademika ‘melek’ sejarah Aceh, semisal Samudera pase. 

Sebab, sulit diharapkan terwujudnya filosofi, semangat, daya juang, dan karakter Samudera pase di lingkungan IAIN Lhokseumawe, jika seluruh civitas akademika ‘buta’ dengan sejarah Samudera pase. Karena itu, IAIN Lhokseumawe harus berada digarda terdepan dalam merawat, dan melestarikan seluruh peninggalan Samudera pase, baik berupa arkeologi maupun semangat dan daya juang yang mereka miliki hingga memperoleh kejayaan di masa silam.

Budaya literasi

Selain itu, musuh utama peradaban adalah kebodohan. Tidak ada peradaban jikalau masyarakat masih berkubang dalam kebodohan. Artinya, memerangi kebodohan merupakan tanggungjawab besar yang harus dipikul oleh IAIN Lhokseumawe karena mengusung tagline ‘peradaban’. Ini menunjukkan bahwa kualitas (mutu) civitas akademika IAIN Lhokseumawe harus terus berbenah dalam segala aspek, baik pelayanan administrasi-birokrasi, proses belajar mengajar, penelitian, dan membudayakan serta membumikan budaya literasi di kampus ini.

Sebab, menurut data UNESCO tahun 2012, minat membaca (literasi) masyarakat Indonesia (termasuk Aceh) hanya 0,001 persen. Artinya, dari setiap 1000 orang penduduk Indonesia, hanya 1 orang yang minat membaca tinggi. Data ini menunjukkan bahwa, budaya literasi di Indonesia sangat-sangat rendah. Ini juga bermakna bahwa dari 250 juta jiwa penduduk Indonesia hanya 250 ribu yang rajin membaca. Dari 65 negara yang diteliti tentang literasi, Firlandia berada posisi pertama sebagai negara yang memiliki minat baca tinggi, sedangkan Indonesia berada pada urutan 64.

Selain itu, data mutakhir juga menunjukkan bahwa, para pelajar di Australia menghabiskan waktu 150 menit (2,5 jam) untuk menonton televisi setiap hari. Pelajar di Amerika dalam sehari menghabiskan waktu 100 menit (1,6 jam) untuk menonton televisi. Pun, pelajar di Kanada dalam sehari menghabiskan waktu 60 menit ( 1 jam) untuk menonton televisi. Tapi, para pelajar di Indonesia mampu menghabiskan waktu dalam sehari 300 menit (5 jam) hanya untuk menonton televisi. Akibatnya, kualitas pendidikan di Indonesia (termasuk di Aceh) terus terseok-seok dan tertinggal.  

Sebab itu, dunia pendidikan diharapkan mampu meningkatkan budaya literasi di kalangan pelajar dan mahasiswa. Jika dalam dunia pendidikan saja budaya literasi rendah, lantas apalagi yang bisa diharapkan? Karena itu, IAIN Lhokseumawe berperan dalam menumbuhkan dan meningkatkan budaya literasi di lingkungan kampus, agar atmosfer akademik tumbuh dengan baik layaknya sebuah perguruan tinggi. Konsep iqra’ sebagai wahyu pertama (Qs Al-‘Alaq: 1-5) yang diturunkan kepada Rasulullah Saw layak menjadi filosofi dalam membangun budaya literasi.

Dengan demikian, penulis ingin mengungkapkan bahwa, Kampus Peradaban hanya dapat diwujudkan dengan menumbuhkan budaya literasi (iqra’) di lingkungan civitas akademika. Yakni berupa lahirnya budaya membaca dan menulis di kalangan mahasiswa dan para dosen di lingkungan kampus. Atmosfer membaca dan menulis harus terus digelorakan hingga menjadi gaya hidup (lifestyle) dan jalan hidup (the way of life) seluruh civitas. Sebab, hanya dengan membaca dan menulis peradaban dapat ditegakkan.

Maka, dari sanalah semuanya akan berawal untuk mewujudkan Kampus Peradaban. Meskipun baru seumur jagung, satu tahun IAIN Lhokseumawe diharapkan menjadi medium refleksi untuk meletakkan pondasi dan mengepakkan sayap untuk terbang tinggi. Berangkat dari filosofi Samudera pase menuju Kampus Peradaban untuk Aceh dan Dunia. Selamat Milad 1 Tahun Kampus Peradaban. Semoga berkah dan panjang umur! 


Penulis adalah Dosen Jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI) Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Lhokseumawe, juga aktif sebagai Penceramah agama.

Contact Person :
Nomor Handphone: 0852 - 7705 - 9370
E-mail: adnanyahya50@yahoo.co.id
banner
Previous Post
Next Post
Comments
0 Comments

0 comments:

Pers Mahasiswa AL-Kalam, IAIN Lhokseumawe Phone. 0852 6017 5841 (Pimpinan Umum). Powered by Blogger.