Oleh: Adnan, S.Kom.I.,
M.Pd.I
|
Pada 1 Agustus 2016 lalu,
Presiden Republik Indonesia menandatangani Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun
2016 tentang alih status Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Lhokseumawe
menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe. Sejak saat itu, kampus
yang berada di bumi pase ini berubah menjadi IAIN di Wilayah Lhokseumawe. Pasca
alih status dari STAIN ke IAIN diharapkan memberikan dampak signifikan dalam
pembangunan sumber daya manusia dan mengembalikan kejayaan Samudera Pase di
masa silam.
Sebab itu, pada 1 Agustus 2017
beberapa hari lalu, IAIN Lhokseumawe memperingati satu tahun (milad perdana)
sejak alih status pada 2016 lalu. Tema yang diusung dalam milad perdana ini
yakni; Akselerasi Intelektual Akademik Menuju Kampus Peradaban’. Tema tersebut
mengusung harapan besar untuk mempercepat perkembangan dan pengembangan
keilmuan (ontologis, epistemologis, dan aksiologis) di masa depan, agar IAIN
Lhokseumawe menjadi Kampus Peradaban yang mampu bersaing di tingkat regional,
nasional, dan internasional.
Trilogi Samudera Pase
Dalam pidato milad (1/8/2017), Dr H Hafifuddin MAg (Rektor IAIN
Lhokseumawe) mengungkapkan bahwa, ada beberapa kekuatan Samudera pase yang
layak diadopsi untuk pengembangan IAIN Lhokseumawe menjadi Kampus Peradaban di
masa depan. Pertama, Samudera pase dikenal memiliki raja yang adil,
‘alim, dan berwibawa, yakni Sulthan Malik Ash-Shalih. Ini menunjukkan bahwa
kekuatan kepemimpinan (power of leader) menjadi landasan dalam
pengembangan IAIN Lhokseumawe ke depan.
Karena itu, diperlukan
tangan-tangan keikhlasan dan kesungguhan seluruh stakeholder di
Aceh untuk mewujudkan kualitas pelayanan pendidikan di kampus ini. Sehingga
IAIN Lhokseumawe benar-benar menjadi kampus unggulan di wilayah pesisir utara
Aceh dalam mencerdaskan generasi Sulthan Malik Ash-Shalih di masa depan. Dengan
demikian, kejayaan Islam Samudera pase bukan hanya untuk dikenang dan
dimesiumkan, tapi dapat menjadi motor penggerak untuk mengembalikan kejayaan
tersebut.
Kedua, Samudera pase dikenal memiliki para Ulama (power
of ulama). Dalam setiap kerajaan di Aceh tempo dulu, keberadaan Ulama
sangat penting dan dianggap penting dalam pembangunan. Artinya, kemajuan dan
kejayaan kerajaan Aceh masa silam tidak bisa lepas dari peran dan keterlibatan
para Ulama di masanya. Ini menunjukkan bahwa, kepemimpinan Ulama urgen dalam
mengawal pembangunan. Sebab itu, jika Samudera pase ingin kokoh berdiri
kembali, maka para Ulama harus terlibat dan dilibatkan dalam pembangunan.
Ketiga, Samudera pase dikenal dengan kekuatan keilmuan (power
of knowledge). Artinya, budaya ilmiah menjadi sebab Samudera pase dikenal
hingga sekarang, bahkan hingga masa yang akan datang. Sebab itu, keberadaan
ilmu merupakan pondasi dalam membangun Aceh ke depan. Maka, keberadaan IAIN
Lhokseumawe diharapkan dapat menjadi pendobrak, lokomotif, dan motor penggerak
untuk mengembalikan kejayaan Samudera pase di masa silam.
Dengan demikian, ‘peradaban’
sebagai tagline kampus mampu diwujudkan dengan memiliki tiga
kekuatan (power) besar di atas. Yakni kekuatan kepemimpinan, kekuatan
keulamaan, dan kekuatan keilmuan. Keterpaduan ketiga kekuatan itu perlu
dikembangkan agar terwujudnya; Kampus Peradaban di bumi pase. Sehingga IAIN
Lhokseumawe akan mampu mengepakkan sayap dan terbang menjulang tinggi ke
seluruh penjuru dunia.
Selain itu, karena filosofi,
semangat, daya juang, dan karakter IAIN Lhokseumawe berangkat dari Samudera
pase. Maka, IAIN Lhokseumawe memiliki tanggungjawab moril untuk merawat,
melestarikan, serta mempertahankan khazanah historisitas dan otentisitas
Samudera pase. Hal ini dapat diwujudkan dengan melahirkan, semisal, jurusan
sejarah Aceh, atau matakuliah khusus (takhassus) tentang sejarah Aceh.
Ini penting dilakukan agar seluruh civitas akademika ‘melek’ sejarah Aceh,
semisal Samudera pase.
Sebab, sulit diharapkan terwujudnya filosofi, semangat, daya juang, dan
karakter Samudera pase di lingkungan IAIN Lhokseumawe, jika seluruh civitas
akademika ‘buta’ dengan sejarah Samudera pase. Karena itu, IAIN Lhokseumawe harus berada digarda
terdepan dalam merawat, dan melestarikan seluruh peninggalan Samudera pase,
baik berupa arkeologi maupun semangat dan daya juang yang mereka miliki hingga
memperoleh kejayaan di masa silam.
Budaya literasi
Selain itu, musuh utama
peradaban adalah kebodohan. Tidak ada peradaban jikalau masyarakat masih
berkubang dalam kebodohan. Artinya, memerangi kebodohan merupakan tanggungjawab
besar yang harus dipikul oleh IAIN Lhokseumawe karena mengusung tagline ‘peradaban’.
Ini menunjukkan bahwa kualitas (mutu) civitas akademika IAIN Lhokseumawe harus
terus berbenah dalam segala aspek, baik pelayanan administrasi-birokrasi,
proses belajar mengajar, penelitian, dan membudayakan serta membumikan budaya
literasi di kampus ini.
Sebab, menurut data UNESCO
tahun 2012, minat membaca (literasi) masyarakat Indonesia (termasuk Aceh) hanya
0,001 persen. Artinya, dari setiap 1000 orang penduduk Indonesia, hanya 1 orang
yang minat membaca tinggi. Data ini menunjukkan bahwa, budaya literasi di
Indonesia sangat-sangat rendah. Ini juga bermakna bahwa dari 250 juta jiwa
penduduk Indonesia hanya 250 ribu yang rajin membaca. Dari 65 negara yang
diteliti tentang literasi, Firlandia berada posisi pertama sebagai negara yang
memiliki minat baca tinggi, sedangkan Indonesia berada pada urutan 64.
Selain itu, data mutakhir juga
menunjukkan bahwa, para pelajar di Australia menghabiskan waktu 150 menit (2,5
jam) untuk menonton televisi setiap hari. Pelajar di Amerika dalam sehari
menghabiskan waktu 100 menit (1,6 jam) untuk menonton televisi. Pun, pelajar di
Kanada dalam sehari menghabiskan waktu 60 menit ( 1 jam) untuk menonton
televisi. Tapi, para pelajar di Indonesia mampu menghabiskan waktu dalam sehari
300 menit (5 jam) hanya untuk menonton televisi. Akibatnya, kualitas pendidikan
di Indonesia (termasuk di Aceh) terus terseok-seok dan tertinggal.
Sebab itu, dunia pendidikan
diharapkan mampu meningkatkan budaya literasi di kalangan pelajar dan
mahasiswa. Jika dalam dunia pendidikan saja budaya literasi rendah, lantas
apalagi yang bisa diharapkan? Karena itu, IAIN Lhokseumawe berperan dalam
menumbuhkan dan meningkatkan budaya literasi di lingkungan kampus, agar
atmosfer akademik tumbuh dengan baik layaknya sebuah perguruan tinggi.
Konsep iqra’ sebagai wahyu pertama (Qs Al-‘Alaq: 1-5) yang
diturunkan kepada Rasulullah Saw layak menjadi filosofi dalam membangun budaya
literasi.
Dengan demikian, penulis ingin
mengungkapkan bahwa, Kampus Peradaban hanya dapat diwujudkan dengan menumbuhkan
budaya literasi (iqra’) di lingkungan civitas akademika. Yakni berupa
lahirnya budaya membaca dan menulis di kalangan mahasiswa dan para dosen di
lingkungan kampus. Atmosfer membaca dan menulis harus terus digelorakan hingga
menjadi gaya hidup (lifestyle) dan jalan hidup (the way of life)
seluruh civitas. Sebab, hanya dengan membaca dan menulis peradaban dapat
ditegakkan.
Maka, dari sanalah semuanya
akan berawal untuk mewujudkan Kampus Peradaban. Meskipun baru seumur jagung,
satu tahun IAIN Lhokseumawe diharapkan menjadi medium refleksi untuk meletakkan
pondasi dan mengepakkan sayap untuk terbang tinggi. Berangkat dari filosofi
Samudera pase menuju Kampus Peradaban untuk Aceh dan Dunia. Selamat Milad 1
Tahun Kampus Peradaban. Semoga berkah dan panjang umur!
Penulis
adalah Dosen Jurusan Bimbingan Konseling Islam (BKI) Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Lhokseumawe, juga aktif sebagai Penceramah agama.
Contact
Person :
Nomor
Handphone: 0852 - 7705 - 9370
E-mail:
adnanyahya50@yahoo.co.id