HEADLINE

Latest Post
Loading...

24 July 2019

Indah Itu Ketika Semuanya Damai dan Saling Menghargai Keberagaman

Oleh: Siti Jelita


www.lpmalkalam.com- Sadar atau tidak, terkadang kita lupa bahwa keberagaman itu ada dan harus dijunjung tinggi. Keberagaman merupakan wujud dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dimana kita berbeda tapi tetap satu bangsa, memiliki banyak etnis namun kita satu bahasa, dan tentunya bertumpah darah yang satu yaitu tanah air Indonesia. Di dalam Al-Qur'an pun telah dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari latar belakang yang beragam. Allah berfirman yang artinya: "Hai manusia! Sesungguhnya Kami (Allah) menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal." (QS. Al-Hujarat: 13).

Kendati memiliki beragam suku, agama, ras dan antar golongan (SARA), kita diajarkan untuk menghargai setiap perbedaan. Perbedaan justru membuat kita bertambah dekat dan membuat Indonesia semakin kuat. Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari seperti saling menyapa, saling menoleransi kegiatan agama, memahami perbedaan persepsi serta menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Agar semuanya terealisasi, maka kita membutuhkan langkah cerdas untuk mengasuh dan mengasih keberagaman tersebut. Kita memang tidak sempurna, tapi paling tidak kita mampu melakukan hal positif bagi sesama.

Seperti di Aceh misalnya, meski Aceh berstatus daerah Islam, kenyamanan beribadah masyarakat non-muslim amat terjamin. Penduduk Aceh memang minoritas Muslim, namun ada juga Nasrani, Budha, dan Hindu. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), keberagaman agama di Aceh menunjukkan sebanyak 4.413.244 atau 98,18 persen penduduk Aceh beragama Islam. Sedangkan pemeluk Kristen berjumlah 50.309 jiwa, Katholik 3.315 jiwa, Budha 7.062 jiwa, Hindu 136 jiwa, dan Khong Hu Chu 36 jiwa. (Detiktravel:2017)

Kho Khi Siong, ketua umum perkumpulan HAKKA Banda Aceh mengungkapkan bahwa penduduk China paling banyak tinggal di Peunayong, Banda Aceh. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat Banda Aceh melabelkan Peunayong sebagai kampung China dan telah dideklarasikan oleh yayasan HAKKA sebagai kampung keberagaman pada perayaan tahun baru Imlek 2566 atau tahun 2015. Kehidupan masyarakat etnis China dan suku asli Aceh terbilang harmonis. Kerukunan umat beragama disana hingga kini masih terjaga. Contohnya saat bulan ramadhan, warga etnis Tionghoa ikut menjajakan penganan berbuka. Begitu juga saat hari-hari besar agama lain, warga non-muslim tetap leluasa merayakannya.

Pada hari besar Imlek 2568 atau tahun baru China 2017 lalu, perayaan Imlek yang dinamakan dengan Ayam Api tersebut berlangsung damai, ramai, dan lancar. Asap pembakaran dupa memenuhi seisi ruangan Vihara Dharma Bhakti Banda Aceh. Aromanya yang khas menusuk hidung. Warga etnis Tionghoa datang silih berganti untuk beribadah dan memanjatkan doa. Semakin menarik ketika gadis pribumi bernama Rati Puspasari (19) yang mengenakan jilbab merah, baju dan celana berwarna serupa ikut ambil bagian memainkan alat musik Simbal bahkan sudah empat tahun bergabung dengan tim barongsai Golden Dragon. Sementara warga pribumi lainnya memenuhi luar pagar dan melihat langsung jalannya ibadah.

Gubernur Aceh Zaini Abdullah, dalam beberapa kesempatan pernah menyinggung soal toleransi di tanah Rencong. Beliau mencontohkan, di Banda Aceh berdiri gereja sejak puluhan tahun silam yang letaknya tidak jauh dari masjid Raya Baiturrahman. Keberadaan rumah ibadah umat Kristiani tersebut tidak pernah diganggu oleh masyarakat mayoritas karena telah memiliki izin resmi dari pemerintah sehingga tetap di jaga keberadaannya. Selain itu, di kawasan Peunayong juga terdapat kuil dan kelenteng. Umat non-muslim bebas beribadah disana tanpa ada yang mengusiknya.

Selain keberagaman agama, menghadirkan keberagaman politik juga merupakan poin penting guna menciptakan generasi Aceh yang terbuka dan tidak "alergi" dengan perbedaan. Keberagaman politik harus dipandang sebagai sebuah hiasan atau pernak-pernik yang indah, yang mana satu sama lain saling melengkapi sehingga keberagaman akan terjalin dan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat di Aceh.

Lantas apa yang harus dilakukan dalam mencapai kehidupan yang lebih baik dengan kondisi keberagaman ini? Tentunya dengan cara saling memahami antar sesama, saling menjaga dan melindungi, saling mempelajari bahasa dan budaya serta tidak menggangu keyakinan orang lain. Dengan demikian, kehidupan akan semakin damai dan indah tanpa adanya pertikaian atau konflik yang dapat menimbulkan perpecahan.


Penulis Merupakan Anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam IAIN Lhokseumawe Divisi reporter, tulisan ini telah lulus uji Serikat jurnalis keberagaman (Sejuk) dan telah di presentasikan di Yogyakarta.

banner
Previous Post
Next Post
Comments
0 Comments

0 comments:

Pers Mahasiswa AL-Kalam, IAIN Lhokseumawe Phone. 0852 6017 5841 (Pimpinan Umum). Powered by Blogger.