Oleh: Siti Jelita |
www.lpmalkalam.com- Sadar atau tidak, terkadang kita lupa
bahwa keberagaman itu ada dan harus dijunjung tinggi. Keberagaman merupakan
wujud dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dimana kita berbeda tapi
tetap satu bangsa, memiliki banyak etnis namun kita satu bahasa, dan tentunya
bertumpah darah yang satu yaitu tanah air Indonesia. Di dalam Al-Qur'an pun
telah dijelaskan bahwa manusia diciptakan dari latar belakang yang beragam.
Allah berfirman yang artinya: "Hai manusia! Sesungguhnya Kami (Allah)
menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal." (QS.
Al-Hujarat: 13).
Kendati memiliki beragam suku, agama,
ras dan antar golongan (SARA), kita diajarkan untuk menghargai setiap
perbedaan. Perbedaan justru membuat kita bertambah dekat dan membuat Indonesia
semakin kuat. Contoh sederhana dalam kehidupan sehari-hari seperti saling
menyapa, saling menoleransi kegiatan agama, memahami perbedaan persepsi serta
menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Agar semuanya terealisasi,
maka kita membutuhkan langkah cerdas untuk mengasuh dan mengasih keberagaman
tersebut. Kita memang tidak sempurna, tapi paling tidak kita mampu melakukan
hal positif bagi sesama.
Seperti di Aceh misalnya, meski Aceh
berstatus daerah Islam, kenyamanan beribadah masyarakat non-muslim amat
terjamin. Penduduk Aceh memang minoritas Muslim, namun ada juga Nasrani, Budha,
dan Hindu. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 yang dilakukan oleh Badan
Pusat Statistik (BPS), keberagaman agama di Aceh menunjukkan sebanyak 4.413.244
atau 98,18 persen penduduk Aceh beragama Islam. Sedangkan pemeluk Kristen
berjumlah 50.309 jiwa, Katholik 3.315 jiwa, Budha 7.062 jiwa, Hindu 136 jiwa,
dan Khong Hu Chu 36 jiwa. (Detiktravel:2017)
Kho Khi Siong, ketua umum perkumpulan
HAKKA Banda Aceh mengungkapkan bahwa penduduk China paling banyak tinggal di
Peunayong, Banda Aceh. Hal itulah yang menyebabkan masyarakat Banda Aceh
melabelkan Peunayong sebagai kampung China dan telah dideklarasikan oleh
yayasan HAKKA sebagai kampung keberagaman pada perayaan tahun baru Imlek 2566
atau tahun 2015. Kehidupan masyarakat etnis China dan suku asli Aceh terbilang
harmonis. Kerukunan umat beragama disana hingga kini masih terjaga. Contohnya
saat bulan ramadhan, warga etnis Tionghoa ikut menjajakan penganan berbuka.
Begitu juga saat hari-hari besar agama lain, warga non-muslim tetap leluasa
merayakannya.
Pada hari besar Imlek 2568 atau tahun
baru China 2017 lalu, perayaan Imlek yang dinamakan dengan Ayam Api tersebut
berlangsung damai, ramai, dan lancar. Asap pembakaran dupa memenuhi seisi
ruangan Vihara Dharma Bhakti Banda Aceh. Aromanya yang khas menusuk hidung.
Warga etnis Tionghoa datang silih berganti untuk beribadah dan memanjatkan doa.
Semakin menarik ketika gadis pribumi bernama Rati Puspasari (19) yang
mengenakan jilbab merah, baju dan celana berwarna serupa ikut ambil bagian
memainkan alat musik Simbal bahkan sudah empat tahun bergabung dengan tim
barongsai Golden Dragon. Sementara warga pribumi lainnya memenuhi luar pagar
dan melihat langsung jalannya ibadah.
Gubernur Aceh Zaini Abdullah, dalam
beberapa kesempatan pernah menyinggung soal toleransi di tanah Rencong. Beliau
mencontohkan, di Banda Aceh berdiri gereja sejak puluhan tahun silam yang
letaknya tidak jauh dari masjid Raya Baiturrahman. Keberadaan rumah ibadah umat
Kristiani tersebut tidak pernah diganggu oleh masyarakat mayoritas karena telah
memiliki izin resmi dari pemerintah sehingga tetap di jaga keberadaannya.
Selain itu, di kawasan Peunayong juga terdapat kuil dan kelenteng. Umat
non-muslim bebas beribadah disana tanpa ada yang mengusiknya.
Selain keberagaman agama, menghadirkan
keberagaman politik juga merupakan poin penting guna menciptakan generasi Aceh
yang terbuka dan tidak "alergi" dengan perbedaan. Keberagaman politik
harus dipandang sebagai sebuah hiasan atau pernak-pernik yang indah, yang mana
satu sama lain saling melengkapi sehingga keberagaman akan terjalin dan dapat
dirasakan manfaatnya oleh seluruh masyarakat di Aceh.
Lantas apa yang harus dilakukan dalam
mencapai kehidupan yang lebih baik dengan kondisi keberagaman ini? Tentunya
dengan cara saling memahami antar sesama, saling menjaga dan melindungi, saling
mempelajari bahasa dan budaya serta tidak menggangu keyakinan orang lain.
Dengan demikian, kehidupan akan semakin damai dan indah tanpa adanya pertikaian
atau konflik yang dapat menimbulkan perpecahan.
Penulis Merupakan Anggota Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam IAIN Lhokseumawe Divisi reporter, tulisan ini telah lulus uji Serikat jurnalis keberagaman (Sejuk) dan telah di presentasikan di Yogyakarta.