![]() |
Foto: Pexels.com |
Dalam beberapa tahun terakhir, banyak contoh kasus yang menunjukkan bahwa tekanan publik melalui media sosial menjadi faktor utama dalam percepatan penanganan sebuah perkara. Salah satunya adalah kasus pelecehan terhadap seorang siswi di Malang yang awalnya diabaikan pihak sekolah dan kepolisian. Namun, setelah video korban menangis sambil menceritakan kejadian tersebut viral di TikTok, pihak berwenang segera mengambil tindakan dan pelaku akhirnya ditangkap.
Hal serupa terjadi dalam kasus jalan rusak di Lampung, yang selama bertahun-tahun dibiarkan tanpa perbaikan. Setelah seorang pemuda mengunggah video kondisi jalan yang penuh lubang, lengkap dengan kritik tajam terhadap pemerintah daerah, proyek perbaikan jalan segera dikerjakan dalam hitungan minggu. Fenomena ini mencerminkan ketidakpercayaan publik terhadap institusi hukum dan birokrasi di Indonesia. Banyak orang bertanya-tanya, mengapa suatu masalah harus viral dulu sebelum ditindaklanjuti? Bukankah hukum seharusnya berjalan tanpa perlu tekanan dari media sosial?
Menurut Dr. Arif Susanto, seorang pakar hukum dari Universitas Indonesia, fenomena ini terjadi karena beberapa faktor:
1. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam sistem hukum.
2. Minimnya respons cepat dari aparat penegak hukum terhadap laporan masyarakat.
3. Pengaruh media sosial yang semakin besar dalam membentuk opini publik dan tekanan politik.
Di satu sisi, "No Viral, No Justice" menjadi alat bagi masyarakat untuk mendapatkan keadilan yang mungkin sulit diperoleh melalui jalur resmi. Namun, ada juga dampak negatif yang perlu diperhatikan:
1. Trial by social media, di mana seseorang bisa dihakimi secara tidak adil hanya karena sebuah video atau unggahan viral.
2. Manipulasi opini publik, di mana pihak tertentu bisa memanfaatkan viralitas untuk menggiring narasi tertentu.
3. Overload informasi bagi penegak hukum, yang bisa menyebabkan mereka lebih fokus pada kasus viral dibanding kasus lain yang juga penting.
Agar keadilan tidak hanya bergantung pada media sosial, reformasi hukum dan birokrasi menjadi kunci utama. Pemerintah dan penegak hukum harus meningkatkan transparansi, mempercepat respons terhadap laporan masyarakat, serta memastikan bahwa setiap warga negara mendapatkan perlakuan yang adil tanpa harus mencari perhatian media sosial terlebih dahulu.
Masyarakat pun perlu lebih bijak dalam menggunakan media sosial, memastikan bahwa informasi yang disebarkan benar dan tidak sekadar mencari sensasi. Fenomena "No Viral, No Justice" adalah cerminan dari permasalahan yang lebih besar dalam sistem hukum Indonesia.
Oleh: Putri Ruqaiyah
Editor: Redaksi