Portal Berita Al-Kalam

Alih Status IAIN ke UIN, Username dan Profil Media Sosial UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Belum Berganti? Ini Alasannya

Foto: IST www.lpmalkalam.com -  Humas Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menuai pertanyaan dari mahasiswa terkai...

HEADLINE

Latest Post

15 Juli 2025

Feminisme Islam dan Partisipasi Politik Perempuan: Menafsir Ulang Peran Gender dalam Ruang Publik

Pexels.com

www.lpmalkalam.com

Pendahuluan

Diskursus tentang perempuan dalam politik Islam telah menjadi salah satu perdebatan paling dinamis dalam pemikiran Islam kontemporer. Pertanyaan fundamental yang terus bergulir adalah apakah Islam membatasi atau justru memberdayakan perempuan dalam ranah politik? Perdebatan ini tidak hanya melibatkan aspek teologis, tetapi juga dimensi sosial, kultural, dan historis yang kompleks. Feminisme islam, sebagai gerakan intelektual dan sosial, hadir untuk menjawab tantangan ini dengan menawarkan perspektif yang berbeda dari feminisme barat maupun interpretasi islam tradisional yang cenderung patriarkal.

Dalam konteks global, perempuan muslim menghadapi tantangan ganda yaitu di satu sisi mereka harus berhadapan dengan stereotip dan diskriminasi yang berakar pada kesalahpahaman tentang Islam, di sisi lain mereka juga harus menghadapi interpretasi keagamaan yang membatasi ruang gerak mereka dalam politik. Feminisme Islam muncul sebagai respon terhadap kedua tantangan ini, dengan berusaha membuktikan bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan partisipasi politik perempuan, tetapi bahkan mendorongnya melalui prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang menjadi fondasi ajaran agama.

Artikel opini ini akan mengeksplorasi bagaimana feminisme Islam merekonstruksi pemahaman tentang peran gender dalam ruang publik, khususnya dalam konteks politik. Melalui pendekatan hermeneutis yang kritis terhadap teks-teks keagamaan dan analisis terhadap praktik historis, feminisme Islam berusaha membuka ruang yang lebih luas bagi partisipasi politik perempuan tanpa mengorbankan identitas keagamaan mereka. Diskusi ini menjadi semakin relevan di era di mana perempuan Muslim di berbagai belahan dunia semakin aktif dalam politik, baik sebagai pemimpin negara, anggota parlemen, maupun aktivis sosial.

Pembahasan

1. Fondasi Teologis Feminisme Islam

Feminisme Islam berbeda secara fundamental dari feminisme sekuler dalam pendekatannya terhadap emansipasi perempuan. Jika feminisme sekuler cenderung memandang agama sebagai sumber penindasan terhadap perempuan, feminisme Islam justru melihat Islam sebagai sumber pembebasan yang telah disalahartikan oleh interpretasi patriarkal selama berabad-abad. Para feminis Muslim seperti Amina Wadud, Asma Barlas, dan Riffat Hassan mengembangkan metodologi hermeneutis yang memungkinkan pembacaan ulang terhadap Al-Qur'an dan Hadis dengan perspektif gender yang lebih sensitif.

Salah satu argumen utama feminisme Islam adalah bahwa Al-Qur'an secara fundamental mengakui kesetaraan spiritual antara laki-laki dan perempuan. Ayat-ayat seperti "Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik" (An-Nahl: 97)

Ini menunjukkan bahwa Islam tidak membedakan nilai spiritual berdasarkan gender. Dari fondasi kesetaraan spiritual ini, para feminis Muslim berargumen bahwa tidak ada alasan teologis yang kuat untuk mengecualikan perempuan dari partisipasi politik.

Lebih lanjut, feminisme Islam juga menunjukkan bahwa banyak pembatasan terhadap perempuan dalam tradisi Islam sebenarnya berakar pada interpretasi yang dipengaruhi oleh konteks budaya patriarkal Arab pra-Islam dan tradisi Bizantium serta Persia yang kemudian terinternalisasi dalam pemikiran Islam. Misalnya, hadis-hadis yang sering dikutip untuk membatasi kepemimpinan perempuan, seperti "Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan," perlu dipahami dalam konteks historis spesifik dan bukan sebagai prinsip universal yang berlaku untuk semua zaman.

2. Reinterpretasi Konsep Kepemimpinan dalam Islam

Salah satu isu paling kontroversial dalam diskusi tentang partisipasi politik perempuan dalam Islam adalah konsep kepemimpinan atau imamah. Interpretasi tradisional sering kali membatasi kepemimpinan politik tertinggi (seperti khalifah atau imam) hanya untuk laki-laki. Namun, feminisme Islam mengajukan reinterpretasi yang lebih nuansed terhadap konsep ini.

Para feminis Muslim berargumen bahwa konsep kepemimpinan dalam Islam tidak selalu bersifat hierarkis dan maskulin. Mereka menunjukkan bahwa Al-Qur'an menggunakan istilah "khalifah" (wakil Tuhan di bumi) untuk merujuk pada semua manusia, tanpa pembedaan gender. Lebih lanjut, konsep "wilayah" (otoritas) dalam Islam tidak selalu dipahami sebagai dominasi maskulin, tetapi bisa juga diartikan sebagai tanggung jawab untuk melindungi dan memelihara, yang bisa dilakukan oleh siapa saja yang memiliki kapasitas untuk itu.

Feminisme Islam juga menarik pelajaran dari sejarah Islam awal, di mana perempuan memainkan peran penting dalam kehidupan politik dan sosial. Khadijah binti Khuwaylid, istri pertama Nabi Muhammad, adalah seorang pedagang sukses yang memiliki otoritas ekonomi dan sosial yang signifikan. Aisyah binti Abu Bakar tidak hanya dikenal sebagai periwayat hadis terpenting, tetapi juga sebagai pemimpin politik yang berani, bahkan pernah memimpin pasukan dalam Perang Jamal. Contoh-contoh historis ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam ruang publik dan politik bukanlah hal yang asing dalam tradisi Islam.

3. Tantangan Interpretasi Patriarkal

Meskipun memiliki fondasi teologis yang kuat, feminisme Islam menghadapi tantangan serius dari interpretasi patriarkal yang telah mengakar dalam tradisi Islam selama berabad-abad. Interpretasi ini sering kali menggunakan ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur'an atau hadis-hadis spesifik untuk membenarkan subordinasi perempuan dalam ruang publik. Salah satu ayat yang sering disalah artikan adalah An-Nisa ayat 34 yang berbicara tentang "qiwamah (kepemimpinan) laki-laki atas perempuan. Interpretasi patriarkal memahami ayat ini sebagai pemberian otoritas absolut kepada laki-laki atas perempuan dalam semua aspek kehidupan. Namun, para feminis Muslim berargumen bahwa ayat ini harus dipahami dalam konteks keluarga dan hubungan suami-istri, bukan sebagai prinsip umum yang berlaku dalam semua ruang sosial dan politik.

Feminisme Islam juga mengkritik metodologi interpretasi tradisional yang cenderung androsentris, yaitu memahami teks-teks keagamaan dari perspektif laki-laki sebagai norma. Mereka mengusulkan pendekatan hermeneutis yang lebih inklusif, yang mempertimbangkan pengalaman dan perspektif perempuan dalam memahami teks-teks keagamaan. Pendekatan ini tidak berarti menolak otoritas teks, tetapi berusaha memahaminya dengan lebih komprehensif dan kontekstual.

4. Partisipasi Politik Perempuan dalam Praktik

Dalam praktiknya, partisipasi politik perempuan Muslim di berbagai negara menunjukkan variasi yang sangat luas. Di beberapa negara mayoritas Muslim seperti Bangladesh, Pakistan, dan Indonesia, perempuan telah menjadi pemimpin tertinggi negara. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hambatan teologis yang absolut terhadap kepemimpinan politik perempuan dalam Islam.

Namun, di negara-negara lain, perempuan Muslim masih menghadapi berbagai hambatan dalam partisipasi politik. Hambatan ini tidak selalu berakar pada ajaran Islam itu sendiri, tetapi lebih pada interpretasi konservatif yang dipengaruhi oleh budaya lokal dan struktur sosial yang patriarkal. Misalnya, di beberapa negara Arab, pembatasan terhadap perempuan dalam politik lebih terkait dengan tradisi budaya Badui yang patriarkal daripada ajaran Islam yang murni.

Feminisme Islam berperan penting dalam mengadvokasi partisipasi politik perempuan dengan memberikan legitimasi teologis yang kuat. Gerakan ini membantu perempuan Muslim untuk tidak harus memilih antara identitas keagamaan dan aspirasi politik mereka. Sebaliknya, mereka dapat mengintegrasikan kedua aspek ini dalam perjuangan mereka untuk kesetaraan dan keadilan.

5. Transformasi Ruang Publik

Partisipasi aktif perempuan Muslim dalam politik tidak hanya mengubah lanskap politik, tetapi juga mentransformasi konsep ruang publik itu sendiri. Tradisi Islam yang cenderung memisahkan ruang publik dan privat mulai diredefinisi dengan adanya partisipasi perempuan yang semakin aktif.

Perempuan Muslim politisi sering kali membawa perspektif yang berbeda dalam kebijakan publik, dengan lebih menekankan pada isu-isu yang berkaitan dengan keadilan sosial, perlindungan keluarga, dan pemberdayaan masyarakat marginal. Mereka juga cenderung menggunakan pendekatan yang lebih inklusif dan partisipatif dalam pengambilan keputusan politik.

Transformasi ini juga tercermin dalam cara perempuan Muslim menggunakan simbol-simbol keagamaan dalam ruang politik. Penggunaan hijab oleh politisi perempuan Muslim, misalnya, tidak lagi dipandang sebagai simbol ketundukan, tetapi sebagai simbol pemberdayaan dan identitas yang kuat. Hal ini menunjukkan bahwa feminisme Islam berhasil merekonstruksi makna simbol-simbol keagamaan dalam konteks politik modern.

Penutup

Feminisme Islam telah membuka jalan bagi reinterpretasi yang lebih progresif terhadap peran gender dalam ruang publik, khususnya dalam konteks partisipasi politik perempuan. Melalui pendekatan hermeneutis yang kritis dan kontekstual, feminisme Islam berhasil menunjukkan bahwa Islam tidak hanya kompatibel dengan partisipasi politik perempuan, tetapi bahkan mendorongnya melalui prinsip-prinsip keadilan dan kesetaraan yang menjadi fondasi ajaran agama.

Reinterpretasi ini tidak berarti menolak otoritas teks-teks keagamaan, tetapi berusaha memahaminya dengan lebih komprehensif dan sesuai dengan konteks zaman. Feminisme Islam membuktikan bahwa tradisi keagamaan dapat menjadi sumber pemberdayaan perempuan jika diinterpretasikan dengan metodologi yang tepat dan sensitivitas gender yang memadai. Namun, perjuangan untuk mewujudkan partisipasi politik perempuan yang setara masih

menghadapi berbagai tantangan, baik dari interpretasi konservatif dalam komunitas Muslim maupun dari stereotip dan diskriminasi dalam masyarakat yang lebih luas. Feminisme Islam perlu terus mengembangkan strategi yang lebih efektif untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, sambil tetap mempertahankan autentisitas keagamaan yang menjadi kekuatan utamanya.

Ke depan, feminisme Islam diharapkan dapat terus berkontribusi dalam memperkaya diskursus tentang gender dan politik dalam Islam. Dengan semakin banyaknya perempuan Muslim yang aktif dalam politik di berbagai belahan dunia, pengalaman praktis mereka dapat menjadi bahan untuk pengembangan teori feminisme Islam yang lebih matang dan aplikatif. Transformasi ini tidak hanya penting untuk kemajuan perempuan Muslim, tetapi juga untuk pengembangan pemikiran Islam yang lebih inklusif dan relevan dengan tantangan zaman modern.

Pada akhirnya, feminisme Islam menawarkan model alternatif untuk emansipasi perempuan yang tidak mengharuskan mereka untuk meninggalkan identitas keagamaan mereka. Sebaliknya, ia menunjukkan bahwa Islam dapat menjadi sumber kekuatan dan legitimasi untuk perjuangan perempuan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan dalam ruang publik. Inilah kontribusi unik feminisme Islam dalam diskursus global tentang gender dan politik yang patut terus dikembangkan dan diperkuat.

Karya: Ayu yuniawati Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe (Rilisan)

Editor: Putri Ruqaiyah

banner
Previous Post
Next Post
Comments
0 Comments

0 comments:

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0821-6414-4543 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.