Oleh : Gunawan, S. Pd. I |
Media-media
televisi gencar memberitakan persiapan malam tahun baru, terompet-terompet berjejar
rapi menghiasi sepanjang kaki lima dengan beragam harga, namun di Aceh tidak
sesperti kota-kota lainnya di Indonesia, namun Aceh dihiasi sepanduk-sepanduk
peringatan untuk tidak merayakan malam tahun baru dengan behura-hura oleh
pemerintahan setempat, sebenarnya bukan di Aceh saja peringatan tersebut
dipasangkan, dipinggir jalan kota-kota lain juga melakukan hal demikian. Jika
berbicara tahun baru remaja muda mudi pria wanita terlibat aktif dalam aksi
malam pergantian tahun baru, sehingga sulit dikontrol pergaulan bebas yang
terjadi dengan disengaja, sehingga terpikir dalam pikiran untuk bercerita di
hari masuk sekolah kepada anak-anak disekolah tentang perayaan tahun baru,
secara otomatis peserta didik akan menanyakan hal demikian kepada saya selaku
seorang guru, terutama pertanyaan mengenai persiapan malam tahun baru serta
meminta Izin untuk berlibur bersama keluarga.
Mereka
datang beramai-ramai sambil berlari-lari kecil dan menanyakan tentang hari-hari
yang spesial tentang tahun baru, sambil melempar senyum menyapa mereka yang
hadir, pohon pinus didepan kelas yang tinggi manjulang keatas bersama angin ia
digoyangkan berhias kicauan burung yang bernyanyi ceria, dibawah
kerindangannya mereka duduk dalam
halaqah, satu-satu mulai bertanya kepada sang guru muda, apa yang bapak lakukan
ketika tahun baru akan tiba, sang guru muda penuh ramah dan tamah kembali
melempar pertanyaan, apa yang sudah kalian persiapkan dimalam tahun baru,
beramai ramai mereka menjawab, membakar kembang api, liburan keluar kota, membuat
syukuran bersama keluarga, dan sebagian hanya meghabiskan tahun baru dirumah,
dan merasa hari yang tidak penting untuk dirayakan ujarnya, sebagian mereka
juga menjawab bahwa haram merayakan malam tahun baru.
Ujar
si guru, tahun baru selalu diidentikkan dengan berhura-hura berceria penuh suka
dan cita, hingga rasa dukapun terlupakan. Banyak persiapan yang disiapkan, uang
dikumpulkan sejak lama dan ketika tiba pada masanya uang itupun dihamburkan. Tidak
ada yang salah dalam perayaan tahun baru jika dilakukan dengan bersifat
keagamaan, namun jika perayaan menjadi suka ria yang berlebihan dengan menghabiskan
banyak biaya, berarti kita sudah melakukan pemborosan. Begitu mahalnya harga
kembang api hingga ratusan juta mereka menghanguskan uang untuk menghiasi
langit malam hingga terangnya bulan terabaikan, lautan manusia menghiasi pusat
Ibu Kota, pantai-pantai, hingga puncak gunung pun manusia berhadir demi
menghabiskan malam tahun barunya. Rumah-rumah ibadah terlupakan menjadi asing
hingga sunyi tak berhias gema zikir.wah alangkah indahnya jika dimalam tahun
baru rumah-rumah ibadah dibanjiri sejuta umat seperti aksi 212 diiringingi gema
zikir, sholawat bagai malam takbir, dunia begitu indah berhias ayat-ayat ilahi
dan doa dipanjatkan dimalam pergantian tahun, namun semuanya sudah terlupakan
dengan kemeriahan dan kesenangan dari tipu daya dunia.
Sejarah Tahun Baru Masehi
Jika berbicara malam tahun baru
masehi berbagai informasi baik di media dan beberapa artikel menjelaskan, bahwa
Sejak Abad ke-7 SM bangsa Romawi kuno telah memiliki kalender tradisional.
Sistem kalender ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan
matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.
Menurut catatan Encarta Reference
Library Premium 2005, Pada tahun 45 SM Julius Caesar mengganti kalender
tradisional ini dengan Kalender Julian. Sementara pengganti Julius Caesar,
yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan
“Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender
Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M
ketika muncul Kalender Gregorian. Satu tahun dalam penanggalan baru itu
dihitung sebanyak 365 seperempat hari dan setiap empat tahun, satu hari
ditambahkan kepada bulan Februari. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak
lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama
kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM. Namun bagi umat kristiani di
negara perayaan tahun baru di identikkan dengan agi orang Kristiani di benua
Eropa, tahun baru masehi dikaitkan dengan kelahiran Yesus Kristus sehingga
agama Kristen sering disebut agama Masehi. Masa sebelum Yesus lahir pun disebut
tahun Sebelum Masehi (SM) dan sesudah Yesus lahir disebut tahun Masehi. Itulah
sedikit kisah kesajarahan tahun baru masehi yang didapatkan pada sebuah Artikel
yang dumuat oleh media, Miraj Islamic News Agency (MINA)
Mari
bercermin dimasa yang silam, ketika alam-alam bergemuruh bagai raunngan singa
yang hendak menerkam mangsa, bencana alam Gempa Tsunami yang terjadi di Banda
Aceh empat hari menjelang tahun baru yang merenggut jutaan manusia 26 Desember
2004, kemudian disusul bencana alam Gempa Bumi di Pidie Jaya pada bulan
November 2016, merenggut ratusan nyawa manusia melayang, bencana ini telah
menjadi kuasa Allah Swt sebagi pembelajaran bagi kita semua ataupun peringatan
agar setiap manusia tidak menjadi lalai dalam menjalankan hidup di dunia ini.
Setiap
musibah dan bencana pasti ada hikmah diakhir cerita. mari menjadi manusia yang
tidak mudah dilalaikan dengan seglala kecerian dan kesenangan semata, terutama
tidak meninggalkan segala perintah dan larangan dari yang maha kuasa,
sebagimana dijelaskan dalam sebuah ayat alam
QS Asy-Syuura ayat 30, Allah Swt berfirman: “Dan apa saja musibah yang menimpa
kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah
memaafkan sebagian besar.” Bahwa segala kecerian bersifat hura-hura merupakan
sebuah perbuatan yang tidak terpuji uang dihabiskan dengan Cuma-cuma,
mari merayakan malam tahun baru masehi dengan meningkatkan iman taqwa kepada
yang maha kuasa serta memanjatkan agar lebih dekat denga yang maha kuasa.