![]() |
Foto: @cingreborn/Twitter |
Sementara itu, penerbit Tekad, yang dituduh terlibat dalam kasus ini, telah mengeluarkan surat pernyataan sikap. Dalam surat tersebut, Miftahul Anshori, CEO Penerbit Tekad, menyatakan bahwa setelah mengonfirmasi kepada penulis yang dituduh melakukan plagiarisme, penulis tersebut yakin bahwa dirinya tidak melakukan tindakan tersebut. Penerbit Tekad juga menyatakan bahwa mereka siap menempuh jalur hukum jika tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan.
Kasus ini semakin memanas dengan pernyataan dari akun Literary Base yang menyatakan bahwa dunia literasi telah diacak-acak dengan penerbitan novel hasil plagiarisme. Mereka meminta agar semua pihak terus mengawal kasus ini hingga sang korban, almarhumah Nova, mendapatkan keadilan dan haknya.
Dalam postingan lainnya, Literary Base juga menyoroti bahwa plagiarisme sering terjadi di kalangan penulis fanfic di platform TikTok. Mereka mengungkapkan bahwa sebelum meninggal dunia, almarhumah Nova Siswanto sempat menghadapi banyak tekanan karena karyanya diduga diplagiat sedangkan ia adalah korbannya. Menurut mereka, Nova bahkan harus menunda operasi jantungnya untuk mengurus masalah plagiarisme ini, namun sayangnya, ia meninggal dunia sebelum mendapatkan keadilan.
Dengan perhatian besar dari netizen dan komunitas literasi, harapan agar kasus plagiarisme ini dapat diusut tuntas tetap tinggi. Masyarakat berharap agar karya Nova Siswanto dihargai dan pelaku plagiarisme mendapat hukuman yang setimpal.
Plagiarisme, atau pengambilan karangan orang lain dan mengklaimnya sebagai karangan sendiri, dianggap sebagai tindakan yang tidak terpuji. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), plagiarisme adalah mengambil karya tulis orang lain dan menerbitkannya atas nama diri sendiri, atau menjiplak.
Menurut UU No. 28/2014 tentang Hak Cipta, plagiarisme dianggap sebagai pelanggaran hak cipta di Indonesia. Menurut Pasal 113 undang-undang tersebut, pelanggaran hak cipta, termasuk plagiarisme, dapat mengakibatkan hukuman pidana hingga Rp 1 miliar dalam bentuk denda dan/atau penjara maksimal empat tahun. Lebih lanjut, hak cipta di ranah digital dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang merevisi Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pelaku plagiarisme di internet dapat dikenakan denda yang cukup berat selain hukuman pidana.
Plagiarisme membahayakan integritas akademis dan profesional, selain merugikan pencipta asli dengan tidak memberi mereka kesempatan untuk diakui dan diberi kompensasi atas karya mereka. Plagiarisme dalam lingkungan akademis dapat menyebabkan hukuman administratif termasuk pencabutan gelar akademis, pembatalan publikasi, dan pengusiran dari sekolah. Sebaliknya, perilaku ini dapat menyebabkan kerugian finansial dan reputasi yang signifikan bagi individu dan bisnis di bidang profesional.
Untuk menghindari plagiarisme, penulis dan pencipta lain harus selalu mengaitkan sumber asli mereka dengan benar, menggunakan perangkat lunak pendeteksi plagiarisme, dan menyadari serta mematuhi peraturan hak cipta yang berlaku. Untuk meningkatkan kesadaran akan nilai menghargai karya berhak cipta orang lain, lebih banyak hal yang perlu dilakukan dalam hal etika penulisan dan pendidikan hak cipta.
Oleh: Luthfy Arwiya
Editor: Redaksi