![]() |
Foto: Nazwa Nadine/aceHTrend |
Blang Padang bukan sekadar lapangan. Ia adalah warisan Sultan Iskandar Muda yang diwakafkan untuk Masjid Raya Baiturrahman, sebagaimana tercatat dalam arsip kolonial dan narasi lokal yang konsisten menyebutnya sebagai tanoh meuseuraya tanah milik Allah yang hasilnya diperuntukkan bagi kemaslahatan umat. Namun, pasca tsunami 2004, plang bertuliskan “Hak Pakai TNI AD” berdiri tegak di atas tanah ini, menandai babak baru dalam sengketa kepemilikan.
Polemik ini bukan semata soal administrasi agraria. Ia menyentuh jantung politik Islam, bagaimana negara memperlakukan aset wakaf sebagai bagian dari kedaulatan spiritual masyarakat? Dalam perspektif fiqh siyasah, wakaf adalah bentuk distribusi kekuasaan yang tidak tunduk pada logika kepemilikan negara, melainkan pada prinsip amanah dan maslahat. Ketika tanah wakaf diklaim sebagai aset negara, pertanyaan mendasar pun muncul: apakah negara masih menghormati otoritas moral yang lahir dari syariat?
DPRA dan Pemerintah Aceh telah mengajukan desakan agar tanah Blang Padang dikembalikan kepada nazhir Masjid Raya Baiturrahman. Bahkan Gubernur Muzakir Manaf telah melayangkan surat resmi kepada Presiden RI untuk menegaskan status wakaf tanah tersebut. Langkah ini menunjukkan bahwa polemik Blang Padang bukan hanya soal legalitas, tetapi juga soal keberanian politik untuk menegakkan nilai-nilai Islam dalam tata kelola publik.
Dalam konteks fiqh kharijiyah, sengketa ini dapat dibaca sebagai konflik antara al-sultah al-diniyah dan al-sultah al-madaniyah antara otoritas keagamaan dan otoritas administratif. Ketika tanah wakaf digunakan untuk kepentingan militer tanpa ikrar atau izin dari nazhir, maka telah terjadi pelanggaran terhadap prinsip hurmatu al-waqf (kesucian wakaf). Wakaf bukan sekadar aset, melainkan simbol kedaulatan spiritual yang tidak boleh diganggu gugat.
Blang Padang, dengan segala simbolisme dan sejarahnya, adalah cermin dari relasi antara negara dan umat. Meriam dan mushalla berdiri berdampingan, namun makna keduanya bertolak belakang, satu melambangkan kekuasaan, yang lain ketundukan. Dalam polemik ini, masyarakat Aceh tidak hanya memperjuangkan tanah, tetapi juga memperjuangkan hak untuk menentukan arah spiritualitas dan identitas mereka.
Jika negara benar-benar ingin menunjukkan keadilan dan penghormatan terhadap warisan Islam, maka pengembalian Blang Padang kepada Masjid Raya bukanlah pilihan, melainkan kewajiban. Sebab tanah wakaf adalah milik Allah, dan siapa pun yang mengelolanya harus tunduk pada nilai-nilai yang dititipkan oleh wakif.
Referensi:
1. “Riuh Lahan Lapangan Blang Padang, Pemprov Aceh dan Kodam IM Sama-sama Punya Bukti,” Kompas.com
2. “Penjelasan KSAD soal Polemik Tanah Wakaf Masjid Baiturrahman Aceh yang Dikelola TNI,” Kompas.com
3. Al-Mawardi, Al-Ahkam al-Sultaniyyah, Beirut: Dar al-Fikr, hlm. 56.
4. “Gubernur Mualem: Aceh Terus Perjuangkan Otsus Permanen dan Blang Padang sebagai Aset Umat,” Humas Aceh
5. Ibn Qudamah, Al-Mughni, Jilid 6, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 215.
Karya: Harapan Isaq, Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara UIN Sultanah Nahrasiyah (Rilisan)
Editor: Indira ulfa