![]() |
Foto: Pexels.com |
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan keragaman budaya dan agama. Sayangnya, fakta ini tidak selalu sejalan dengan kenyataan di lapangan. Berbagai laporan menunjukkan bahwa intoleransi justru semakin sering muncul, bahkan merambah dunia pendidikan (Abidin, 2019). Meski tidak seluruh wilayah mengalami hal yang sama, tren peningkatan sikap eksklusif dan penolakan terhadap keberagaman patut menjadi perhatian bersama.
Di tengah arus globalisasi dan digitalisasi, identitas keagamaan kembali menjadi poros utama kehidupan sosial. Fenomena seperti meningkatnya pembangunan masjid, distribusi literatur keagamaan, serta penguatan jejaring keislaman dengan negara-negara Timur Tengah menjadi bukti kebangkitan nilai-nilai Islam tradisional (Abidin, 2019). Dalam konteks ini, nilai-nilai sufistik seperti keseimbangan, welas asih, dan introspeksi justru bisa menjadi alat bantu untuk membentengi anak-anak dari radikalisme.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa intoleransi mulai merasuki benak pelajar. Intoleransi bukan hanya muncul dalam bentuk kebencian kepada pemeluk agama lain, tetapi juga terhadap sesama umat Islam yang berbeda pandangan (Haryani, 2019). Pelajar yang mengalami intoleransi sering kali menunjukkan sikap tertutup dan enggan berdialog (Rachmadyanti, 2017). Lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat seyogianya menjadi ruang untuk memulihkan sikap-sikap tersebut, bukan memperkeruhnya (Aris Yusuf, 2022). Oleh karena itu, menanamkan nilai moderasi di level pendidikan dasar menjadi pilihan strategis yang layak digarap.
Hasil dan Pembahasan
Moderasi Beragama dan Filosofi Keseimbangan
Dalam bahasa Arab, konsep moderasi dikenal dengan istilah wasathiyyah, yang bermakna mengambil jalan tengah dan adil dalam segala hal (Almu’tasim, 2019). Paham ini bukan berarti kompromistis, melainkan sebuah upaya mencari titik temu antara dua ekstrem. Dalam kehidupan beragama, prinsip ini dapat dimaknai sebagai sikap terbuka terhadap perbedaan, baik dalam aspek teologis, sosial, maupun budaya.
Moderasi bukan hanya soal paham, tetapi juga tentang bagaimana cara bersikap. Individu yang moderat tidak mudah menghakimi, mampu menghargai lawan bicara, dan senantiasa mencari solusi damai dalam menghadapi perbedaan. Dalam kerangka pendidikan, moderasi bisa menjadi kompas moral bagi siswa dalam menjalani kehidupan sosial yang majemuk.
Pendidikan Agama Islam di Madrasah Ibtidaiyah
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) di Madrasah Ibtidaiyah mencakup mata pelajaran seperti Al-Qur’an Hadits, Akidah Akhlak, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Setiap mata pelajaran menyimpan potensi besar untuk menanamkan nilai moderasi. Misalnya, pembelajaran sejarah Islam bisa digunakan untuk mengenalkan tokoh-tokoh Islam yang merawat keberagaman dan hidup berdampingan dengan komunitas non-Muslim.
Perencanaan pembelajaran dalam PAI dikembangkan melalui silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang mengacu pada standar isi kurikulum. Pelaksanaan kegiatan belajar tidak sebatas ceramah satu arah, tetapi dapat berupa diskusi, tanya jawab, permainan peran, hingga pemecahan masalah yang disesuaikan dengan karakter siswa. Evaluasi pembelajaran pun dilakukan secara menyeluruh, bukan hanya menguji kemampuan kognitif, tetapi juga bagaimana siswa bersikap dan berinteraksi dalam kehidupan nyata.
Kebijakan Kurikulum dan Integrasi Moderasi
Kementerian Agama telah menetapkan Keputusan Menteri Agama Nomor 183 Tahun 2019 dan Nomor 184 Tahun 2019 sebagai landasan pelaksanaan kurikulum di madrasah. Nilai-nilai moderasi tidak hanya hadir di pelajaran PAI, melainkan juga diintegrasikan dalam kurikulum secara keseluruhan. Bahkan guru mata pelajaran umum pun dapat menyisipkan nilai moderasi dalam pelajaran seperti Bahasa Indonesia atau Ilmu Pengetahuan Sosial, selama disesuaikan dengan kompetensi inti siswa di tiap jenjang.
Kompetensi inti dari kelas I hingga kelas VI semuanya menekankan sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Ini adalah cerminan langsung dari moderasi sebagai nilai kehidupan sosial (Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 183/2019).
Lebih dari itu, Kementerian Agama juga menerbitkan modul seperti Membangun Karakter Moderat sebagai panduan tambahan. Madrasah diberikan fleksibilitas untuk menambah beban belajar siswa hingga enam jam per minggu, di mana dua jam di antaranya bisa digunakan secara khusus untuk pembelajaran moderasi beragama.
Praktik Penguatan Moderasi di Madrasah
Beberapa upaya konkret dapat dilakukan untuk memperkuat nilai moderasi beragama di madrasah. Pertama, guru perlu terus memperluas wawasan tentang moderasi melalui pelatihan, literatur ilmiah, serta forum diskusi keagamaan (Muhammad & Pribadi, 2013). Kedua, RPP disusun dengan memasukkan nilai-nilai toleransi, keseimbangan, dan sikap terbuka ke dalam tujuan pembelajaran dan skenario kegiatan belajar. Ketiga, pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, siswa dapat diajak merefleksikan pengalaman bekerja sama dengan teman yang berbeda latar belakang.
Keempat, evaluasi hasil belajar dilakukan dengan pendekatan adil dan proporsional. Tidak ada diskriminasi dalam penilaian, dan setiap siswa diberi ruang untuk menunjukkan perkembangan karakter, bukan sekadar hafalan. Kelima, madrasah dapat memanfaatkan teknologi digital untuk menyampaikan materi secara menarik, termasuk literasi digital tentang keberagaman dan konten keagamaan yang moderat. Terakhir, semua guru, bukan hanya guru agama, bertanggung jawab menanamkan nilai-nilai ini dalam praktik keseharian di kelas.
Penutup
Moderasi beragama bukan sekadar teori di atas kertas. Ia perlu dihidupkan melalui pendekatan pendidikan yang konkret dan konsisten. Madrasah Ibtidaiyah memiliki posisi yang tepat sebagai ruang awal pembentukan karakter anak. Ketika nilai toleransi, keseimbangan, dan keadilan ditanamkan sejak dini, generasi mendatang akan tumbuh dengan sikap terbuka terhadap perbedaan. Mereka tidak hanya menjadi individu cerdas secara intelektual, tetapi juga mampu hidup berdampingan secara damai di tengah masyarakat yang beragam. Mewujudkan pendidikan yang menumbuhkan nilai moderasi memang bukan perkara instan, tetapi langkah-langkah kecil yang terus dilakukan akan membawa perubahan besar di masa depan.
Refrensi
1. Abidin, Achmad Anwar. 2019. Budaya Sekolah Dalam Meneguhkan Perilaku Moderat Siswa. Jurnal Ancoms, hlm. 549–58.
2. Akhmadi, Agus. 2019. Moderasi Beragama Dalam Keragaman Indonesia. Vol. 13 No. 2. Jurnal Diklat Keagamaan. hlm.45–55.
3. Almu’tasim, Amru. 2019. Berkaca NU Dan Muhammadiyah Dalam Mewujudkan Nilai-Nilai Moderasi Islam. Vol. 8 No. 2. Jurnal TARBIYA ISLAMIA. hlm. 199.
4. Aris Yusuf, Mochamad. 2022. Integrasi, Komunikasi Komunitas Santri, Vol. 3 No. 8. Jurnal Indonesia Sosial Sains. hlm. 1149–58.
5. Gunawan, Ketut. 2011. Manajemen Konflik Atasi Dampak Masyarakat Multikultural. Vol. 2 No.2. Mitra Ekonomi dan Manajemen Bisnis. hlm. 216.
6. Haryani, Elma. 2019. Intoleransi Dan Resistensi Masyarakat Terhadap Kemajemukan. Jurnal Harmoni. Vol. 18 No.2. hlm. 73–90.
7. Muhammad, Wahyudi Akmaliah, & Pribadi, Khelmy K. 2013. Anak Muda, Radikalisme, dan Budaya Populer. Vol. 8 No. 1. Jurnal Maarif. hlm. 132–53.
8. Nashohah, Iin. 2021. Internalisasi Nilai Moderasi Beragama. Jurnal Prosiding Nasional. hlm. 127–46.
9. Rachmadyanti, Putri. 2017. Penguatan Pendidikan Karakter Bagi Siswa Sekolah Dasar. Vol. 3 No. 2. JPSD. hlm. 201–14.
10. Subchi, Imam. 2022. Religious Moderation in Indonesian Muslims. Vol. 13 No. 5. Religions.
11. Syahru Ramadhan. 2020. Kreativitas Guru, Pembelajaran PAI, Toleransi. Vol. 18 No. 2. Jurnal Kreatif. hlm. 181–205.
Karya: Nurul Astika, Mahasiswa Jurusan Hukum Tata Negara UIN Sultanah Nahrasiyah (Rilisan)
Editor: Tiara Khalisna