HEADLINE

Latest Post
Loading...

29 April 2025

Langit yang Tak Pernah Retak

Foto: Pexel

 www.lpmalkalam.com- 

 Kau adalah pagi yang selalu hadir,

meski malam belum sempat menyembunyikan luka.

Dengan mata yang lelah dan tangan yang basah oleh peluh,

kau genggam hari-hariku dalam keheningan.

Ayah, kau adalah batu yang tak pernah runtuh,

meski badai sering mengetuk dadamu.

Jejak langkahmu mungkin tak selalu terasa,

tetapi tertanam dalam setiap keberanianku.

Ibu, bagiku kau samudera yang tak pernah kering,

menampung segala air mataku tanpa keluh kesah.

Dalam sunyi, kau peluk kesedihanku,

dan kau ajari aku caranya kuat tanpa membenci. 

Kalian adalah rumah yang tak pernah lelah menunggu,

meski pintu kadang tertutup terlalu lama.

Kalian adalah doa yang tak pernah berubah arah,

meskipun aku sering aku sering tersesat di jalan yang salah 

Waktu mungkin mencuri warna rambutmu,

dan menyisipkan nyeri di sendi tubuhmu.

Tapi senyum yang kau beri tak pernah tua,

tetap hangat seperti pagi pertama aku mengenal dunia.

Di balik nasihat yang kadang aku abaikan,

ada cinta yang tak tahu caranya berhenti.

Di balik tatapan yang kadang terlalu diam,

ada harapan yang terus menyalakan pelita hati.

Orang tua bukan hanya sepasang insan,

tapi dua semesta yang menyatukan hidup.

Dari kalian aku belajar tentang cinta yang tidak bersyarat,

tentang memberi tanpa perlu dihitung kembali.

Maaf jika aku tak selalu mengerti,

tentang perjuangan yang kau simpan sendiri.

Maaf jika aku kadang menengadah terlalu tinggi,

hingga lupa, ada tanganmu yang menopang dari bumi.

Hari ini mungkin aku bisa berdiri sendiri,

tapi itu karena dulu kalian merangkak menggantikan langkahku.

Jika hidup adalah buku,

maka kalian adalah halaman pertama yang tak akan pernah aku tinggalkan.

Terima kasih, Ayah.

Terima kasih, Ibu.

Tak akan cukup kata,

tapi biarlah cinta ini tumbuh setiap waktu.


Sumber: Rilis

Krisis Kesehatan Mental di Kalangan Mahasiswa: Tantangan yang Perlu Dihadapi Bersama

Foto: Pixabay
www.lpmalkalam.com- Di tengah tekanan akademik yang semakin meningkat, banyak mahasiswa yang menghadapi masalah kesehatan mental yang serius. Tuntutan untuk berprestasi, memenuhi harapan keluarga, serta menjalani kehidupan sosial yang dinamis, sering kali menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi. Meskipun masalah ini semakin dibicarakan, kenyataannya banyak mahasiswa yang masih enggan mengungkapkan perasaan mereka dan lebih memilih untuk menahan masalah tersebut, karena takut dihakimi atau dianggap lemah. Akibatnya, masalah kesehatan mental di kalangan mahasiswa kerap kali terabaikan dan tidak mendapatkan perhatian yang semestinya.

Stres akademik adalah salah satu pemicu utama dari masalah kesehatan mental yang dialami mahasiswa. Beban tugas yang terus menumpuk, ujian yang datang silih berganti, dan ekspektasi tinggi yang datang dari keluarga sering kali membuat mahasiswa merasa tertekan. Selain itu, banyak di antara mereka yang belum memiliki keterampilan untuk mengatur waktu dan mengelola tekanan, yang menjadikan mereka lebih rentan terhadap stres. Tak jarang, tekanan akademik ini berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih serius, seperti kecemasan dan depresi. Ketidakpastian mengenai masa depan, rasa tidak cukup baik, dan perasaan terjebak dalam rutinitas yang membebani dapat memperburuk kondisi tersebut.

Selain stres akademik, mahasiswa juga menghadapi tantangan sosial yang besar. Menyesuaikan diri dengan kehidupan kampus yang baru, jauh dari keluarga, serta beradaptasi dengan teman-teman dan lingkungan sosial yang berbeda bisa memicu perasaan kesepian dan isolasi emosional. Di tengah keramaian kampus, beberapa mahasiswa merasa terpinggirkan dan sulit membangun hubungan sosial yang mendalam. Perasaan kesepian ini menjadi salah satu faktor pemicu masalah kesehatan mental, yang sering kali tidak terungkap karena mahasiswa cenderung menyembunyikan perasaan mereka.

Bahkan dengan semakin meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, stigma terhadap masalah ini masih sangat kuat. Banyak mahasiswa yang enggan mencari bantuan karena takut dianggap lemah atau tidak mampu menghadapi masalah mereka sendiri. Layanan konseling yang tersedia di banyak kampus pun sering kali tidak dimanfaatkan secara maksimal, meskipun sudah ada upaya dari pihak universitas untuk menyediakan fasilitas tersebut. Stigma ini menciptakan tembok tebal antara mahasiswa dan bantuan yang mereka butuhkan.

Namun, solusi untuk krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa tidaklah mustahil. Kampus harus menjadi tempat yang mendukung dan aman bagi mahasiswa untuk membicarakan masalah kesehatan mental mereka. Pertama, kampus perlu lebih aktif dalam meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga kesehatan mental. Mengadakan seminar, workshop, atau kegiatan lain yang mengedukasi mahasiswa tentang cara mengelola stres dan kecemasan bisa membantu mengurangi stigma serta memberikan informasi yang berguna untuk mereka yang merasa tertekan. Selain itu, layanan konseling yang ada perlu diperkuat agar lebih mudah diakses dan digunakan tanpa rasa takut dinilai negatif.

Lebih jauh lagi, kampus perlu menciptakan budaya yang mendukung, di mana mahasiswa merasa nyaman untuk berbicara tentang masalah kesehatan mental mereka. Mahasiswa harus merasa bahwa mereka tidak akan dihukum atau dipandang rendah hanya karena mengakui adanya masalah psikologis. Dalam hal ini, penting untuk membangun hubungan yang lebih manusiawi dan empatik di dalam lingkungan kampus. Program-program yang melibatkan teman-teman sebaya, di mana mereka bisa saling mendukung dan memberikan perhatian terhadap kondisi kesehatan mental satu sama lain, juga bisa sangat efektif.

Selain itu, integrasi pendidikan tentang kesehatan mental dalam kurikulum atau kegiatan ekstrakurikuler bisa menjadi langkah preventif yang sangat penting. Mengajarkan mahasiswa tentang pentingnya keseimbangan antara kehidupan akademik dan pribadi, serta cara-cara untuk mengelola stres secara sehat, dapat mengurangi dampak negatif dari tekanan yang mereka hadapi.

Krisis kesehatan mental di kalangan mahasiswa adalah masalah yang perlu ditangani bersama. Semua pihak dosen, teman-teman, dan pihak kampus-harus saling bekerja sama untuk menciptakan lingkungan yang lebih peduli dan mendukung kesehatan mental. Hanya dengan menciptakan ruang yang aman dan terbuka, mahasiswa dapat merasa didengar dan mendapat dukungan yang mereka butuhkan untuk mengatasi tantangan kesehatan mental mereka. Dengan begitu, mereka dapat lebih fokus pada perkembangan pribadi dan akademik mereka, serta menghadapi masa depan dengan lebih percaya diri dan sehat secara mental.


Sumber: Rilis

Editor: Redaksi

Berantas Secara Sistematis Kasus Pelecehan Seksual

Foto: Pixabay

www.lpmalkalam.com- Pelecehan seksual ialah tindakan yang tidak diinginkan oleh seseorang yang mengarah kepada seksual baik itu secara verbal, fisik, dan non-verbal. Segala bentuk tindakan yang mengganggu orang lain dan membuatnya tidak nyaman (dalam ranah seksual) maka itu sudah disebut sebagai pelecehan. Hal ini menjadi ancaman besar bagi negara dalam memberikan kenyamanan dan keamanan bagi masyarakatnya. Pelecehan tidak hanya terjadi pada perempuan tapi juga dapat terjadi pada laki-laki. Saat ini, masyarakat banyak yang tidak menghiraukan, mengolok-olok, bahkan menertawakan laki-laki yang melaporkan tindakan yang tidak mengenakan tersebut.

Meskipun begitu, korban pelecehan seksual banyak terjadi pada perempuan. Hal dibuktikan pada data UN Women yaitu, 1 dari 3 wanita dan Komnas Perempuan melaporkan 70% perempuan pernah merasakan pelecehan seksual ketika berada dilingkungan sekitar. Tidak hanya diluar, pelecehan bahkan kekerasan seksual dapat terjadi didalam rumah oleh anggota keluarga. Salah satu faktor terjadinya pelecehan seksual dalam keluarga disebabkan budaya patriarki. Patriarki adalah sebutan sosial masyarakat yang merujuk pada laki-laki yang lebih dominan dalam mengambil sebuah keputusan dan mengambil alih peran kekuasaan. Pada umumnya laki-laki memang memiliki kewibawaan dalam memimpin, namun terkadang keegoisan dalam memimpin membuatnya ingin mengambil sebuah keputusan tanpa pertimbangan orang lain bahkan memandang rendah pendapat orang lain terutama perempuan.

Sikap seperti inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa pelecehan kerap terjadi pada perempuan. Karena laki-laki menganggap wanita adalah makhluk yang lemah dan dapat diperintah sehingga mudah bagi laki-laki dalam menuntut, membujuk dengan rayuan, hingga memaksa korban untuk melakukan aksinya tersebut. Jika dulu aksi seperti ini hanya dilakukan oleh orang dewasa, saat ini berbanding terbalik. Dalam sebuah kasus menyatakan bahwa ada seorang anak SMP yang mencabuli anak SD. Hal ini menunjukan pentingnya edukasi kepada anak-anak akan hal tersebut. Orang tua dan guru bahkan pemerintah harusnya memberikan sebuah upaya dalam memberitahukan organ tubuh apa saja yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Dibawah bimbingan orang tua dan guru seharusnya anak juga diberi pemahaman bahwa hubungan antara laki-laki dan perempuan juga mempunyai batas dalam bergaul.

Di Indonesia justru korban pelecehan seksual dianggap sebagai pelaku utama dalam hal ini. Kejadian ini biasanya disebut dengan victim blaming, yaitu sikap yang menyalahkan, menyudutkan, serta menganggap korban yang harus bertanggung jawab dalam hal ini. Salah satu contohnya ialah, perempuan yang disalahkan karena memakai baju yang terbuka. Padahal data menunjukan pada tahun 2018, yang mengenakan lengan Panjang (15,82%) baju longgar (13,80%), hijab pendek dan sedang (13,20%), hijab Panjang (3,68%), bahkan berhijab dan bercadar (0,17%) menurut survei Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA). Melalui data ini jelas bahwa korban tetaplah korban dan bukan tersangka atas kasus ini. Tapi tidak dapat dipungkiri di Indonesia yang menjadikan faktor pelecehan, ada dalam satu paket menyudutkan korbannya. Padahal korban saat itu perlu untuk dilindungi, ditemani, dan didengarkan karena trauma yang dialaminya, bukan malah disudutkan. Perlindungan pada korban juga sudah ada dalam UU No.13 tahun 2006 mengenai perlindungan saksi dan korban. Tapi anehnya mengapa korban terkadang mendapatkan perlakuan tidak mengenakan bahkan diberi labeling orang tidak benar. Bukankah korban tetaplah korban seperti pada kalimat di atas.

Dari faktor-faktor pemicu pelecehan seksual yang dipaparkan di atas maka solusi yang ditawarkan ialah mengenai kesadaran masyarakat umum dan wewenang pemerintah dalam menangani permasalahan tersebut. Perlunya efek jera bagi pelaku pelecehan seksual yang menimbulkan akibat enggan berbuat hal demian pada waktu yang akan datang. Hal ini juga mampu mendorong orang lain untuk tidak melakukannya karena takut terhadap konsekuensi yang didapatkannya. Masyarakat juga harusnya terus melindungi korban bukan justru memaksa korban untuk mengungkit dan menambah trauma yang dialami. Pelecehan seksual bukan terjadi karena pakaian yang digunakan korban. Oleh karenanya perlu diberantas secara sistematis.


Sumber: Ririndayanti Harahap

Editor: Redaksi

Maraknya Aksi Bunuh Diri di Kalangan Mahasiswa

Foto: Pixabay.com

www.lpmalkalam.com- Mahasiswa adalah kelompok usia muda yang berada di persimpangan kehidupan,mereka tengah membangun jati diri, mengejar pendidikan tinggi, dan menyiapkan masa depan di tengah dunia yang semakin kompetitif dan penuh ketidakpastian. Namun di balik semangat dan ambisi itu, terdapat tekanan besar yang sering kali luput dari perhatian. Beban akademik yang berat, persaingan ketat, tuntutan ekonomi, ekspektasi keluarga, dan tantangan personal lainnya menjadi kombinasi tekanan yang, jika tidak dikelola dengan baik, dapat berujung fatal.

Tekanan akademik menjadi salah satu penyebab dominan. Sistem pendidikan tinggi sering kali terlalu menekankan pada capaian akademik, IPK tinggi, dan kelulusan cepat, tanpa memberikan perhatian cukup terhadap kesejahteraan psikologis mahasiswa. Tugas yang menumpuk, deadline yang ketat, serta ketakutan akan kegagalan menciptakan lingkungan yang tidak ramah terhadap kesehatan mental. Mahasiswa yang mengalami kesulitan sering kali merasa malu untuk mengakui ketidakmampuannya, takut akan stigma negatif, dan akhirnya memilih memendam sendiri hingga stres menumpuk menjadi depresi berat.Tidak hanya itu, masalah finansial juga menjadi tekanan berat yang kerap diabaikan. Biaya pendidikan yang tinggi, biaya hidup sehari-hari, dan beban hutang kuliah membuat banyak mahasiswa harus bekerja sambilan, yang justru menguras tenaga dan pikiran mereka. Ketidakstabilan ekonomi ini menambah beban mental, apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu yang menaruh harapan besar di pundak mereka.

Aspek sosial juga tak bisa dilepaskan. Era media sosial menciptakan standar kehidupan yang tidak realistis. Melihat teman-teman sebaya yang tampak "sukses" di dunia maya sering kali membuat mahasiswa merasa kurang dan gagal. Kurangnya koneksi sosial yang otentik, kesepian, serta minimnya ruang aman untuk berbagi membuat banyak mahasiswa merasa terasing di tengah keramaian.Bunuh diri bukan terjadi karena satu faktor tunggal; ia adalah hasil dari akumulasi tekanan yang bertubi-tubi tanpa adanya saluran sehat untuk melepaskan dan mengelola stres. Oleh karena itu, solusi yang ditawarkan pun harus bersifat holistik: dari pencegahan, edukasi, hingga intervensi nyata.

Mahasiswa adalah harapan masa depan bangsa. Setiap nyawa yang hilang adalah kehilangan besar bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi negara. Sudah saatnya kita semua berhenti menutup mata dan telinga. Kita harus menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi kesehatan mental, tempat di mana mahasiswa tidak hanya dituntut untuk menjadi "sukses", tetapi juga didukung untuk menjadi sehat, utuh, dan bahagia.

Karena sejatinya, masa depan yang cerah tidak dibangun di atas deretan angka IPK semata, tetapi di atas jiwa-jiwa yang kuat, sehat, dan penuh semangat hidup.


Sumber: Rilis


Musyawarah Besar LPM Al-Kalam Periode 2025–2026: Menyongsong Kepemimpinan Baru dengan Semangat Kekeluargaan

Foto: Wahyu Ramadhan
www.lpmalkalam.com- Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al-Kalam kembali menggelar Musyawarah Besar (Mubes) dalam rangka menetapkan kepengurusan baru untuk periode 2025–2026. Mengusung tema "The Art of Leading: Beyond Authority, Into Legacy", acara ini berlangsung di Aula FTIK, pada Senin, (28/04/25) dari pukul 09.30 WIB hingga 17.00 WIB.

Dalam kegiatan ini, LPM Al-Kalam turut mengundang Pembina LPM Al-Kalam yaitu Dr. Rizky Wahyudi, M.Kom.I., DEMA dan SEMA I, serta UKM dan UKK IAIN Lhokseumawe. Kehadiran para undangan ini semakin menambah semarak dan dukungan terhadap pelaksanaan Mubes.

Meskipun acara telah berlangsung sepanjang hari, waktu yang tersedia tidak cukup untuk menyelesaikan seluruh rangkaian agenda. Oleh karena itu, sidang Mubes memutuskan untuk menunda beberapa sesi, untuk membahas mengenai AD/ART baru untuk kepemimpinan periode 2025-2026.

Dalam kepengurusan baru ini, Muhammad Syahru terpilih sebagai Pemimpin Umum LPM Al-Kalam periode 2025–2026, sedangkan Fitdaturrahmi ditetapkan sebagai Sekretaris Umum. Sementara itu, untuk posisi Bendahara Umum, Intan Nurani berhasil memenangkan pemilihan setelah bersaing dengan M. Izzat Saputra.

Mubes kali ini juga menghadirkan sambutan inspiratif dari Putri Azzahra Lubis, selaku pemimpin umum LPM Al-Kalam periode 2024–2025. Dalam penyampaiannya, Putri menceritakan awal mula ia mencalonkan diri sebagai pimpinan serta menjelaskan kembali visi dan misi yang pernah diusung. Ia juga menyampaikan bahwa sebagian besar visi dan misi tersebut telah berhasil direalisasikan, meskipun ada beberapa pihak yang menyatakan sebaliknya. Melalui pengalaman tersebut, Putri memberikan motivasi kepada seluruh anggota LPM Al-Kalam untuk terus bersemangat, menjaga kekompakan, dan mempererat rasa kekeluargaan dalam organisasi.

Selain itu, bendahara dan sekretaris periode 2024–2025 turut menyampaikan laporan pertanggungjawaban. Bendahara memaparkan laporan keuangan yang mencakup rincian pemasukan dan pengeluaran organisasi, sedangkan sekretaris menjelaskan struktur organisasi serta kinerja divisi-divisi selama masa kepengurusan. Beberapa divisi juga turut menunjukkan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) hasil kegiatan mereka selama periode 2024–2025, sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas kepada seluruh anggota.

Muhammad Syahru selaku Pemimpin Umum LPM Al-Kalam yang baru berharap “ Semoga kedepannya LPM Al-Kalam menjadi media pers yang kritis demi perkembangan kampus yang lebih baik kedepannya” tuturnya.

Dengan terlaksananya Musyawarah Besar ini, LPM Al-Kalam diharapkan terus melahirkan generasi-generasi unggul yang mampu membawa nama baik organisasi, serta meneruskan perjuangan dengan semangat kepemimpinan yang membangun warisan positif bagi masa depan.


Reporter: Putri Ruqaiyah

Editor: Redaksi

Trend Velocity: Ketika Mahasiswa Tak Lagi Punya Waktu untuk Merenung

Foto: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Di era percepatan informasi dan perubahan sosial yang sangat cepat, banyak dari kalangan mahasiswa kini dihadapkan pada fenomena yang disebut trend velocity—dimana kecepatan pergantian tren dan arus informasi yang menuntut adaptasi konstan.

Kondisi ini bukan hanya mengubah gaya hidup dan cara berpikir mahasiswa, tetapi juga berdampak serius terhadap hilangnya salah satu unsur fundamental dalam pembentukan identitas diri: waktu untuk merenung.

Di dalam dinamika perkuliahan modern, mahasiswa didorong untuk menjadi individu yang serba bisa baik didalam berprestasi akademik, aktif berorganisasi, terampil dalam dunia digital, dan eksis di media sosial. Tekanan sosial ini menuntut hasil dan usaha yang  berkelanjutan dimana mahasiswa memberikan respons cepat terhadap perubahan. Akibatnya, aktivitas merenung yang dahulu menjadi ruang bagi mahasiswa untuk berpikir kritis, mengevaluasi diri, dan merancang masa depan, kini tergeser oleh tuntutan untuk terus bergerak dan mengikuti perkembangan zaman.

Kehadiran media sosial memperparah situasi ini. Siklus tren yang berputar dalam hitungan jam menciptakan ilusi bahwa nilai seseorang diukur dari seberapa cepat ia merespons perkembangan baru, bukan dari seberapa dalam ia memaknai hidupnya. Mahasiswa cenderung lebih fokus padai ruang publik ketimbang memahami diri di ruang privat. Dalam konteks ini, trend velocity secara tidak langsung membentuk generasi yang sibuk beradaptasi, namun miskin perenungan.

Padahal, berdasarkan teori perkembangan identitas (Marcia, 1966), fase eksplorasi diri dan pengambilan keputusan yang sadar merupakan tahapan krusial dalam membangun identitas dewasa yang stabil. Hilangnya waktu untuk merenung berpotensi menimbulkan krisis identitas, keputusan impulsif, burnout, bahkan alienasi eksistensial. Hal ini diperkuat oleh temuan berbagai studi kesehatan mental yang menunjukkan meningkatnya angka stres, depresi, dan kecemasan di kalangan mahasiswa dalam beberapa tahun terakhir.

Menyadari urgensi persoalan ini, diperlukan upaya kolektif untuk merehabilitasi pentingnya refleksi dalam kehidupan akademik. Institusi pendidikan tinggi dapat berkontribusi melalui integrasi aktivitas reflektif dalam kurikulum, seperti jurnal, program mentorship berbasis diskusi mendalam, hingga pelatihan-pelatihan. Selain itu, perlu perubahan budaya dalam lingkungan mahasiswa: dari yang awalnya mahasiswa terlalu memuji dan  mengikuti semua trend yang ada di media sosial kinimenuju penghargaan atas proses berpikir yang mendalam dan terarah.

Akhirnya, dalam dunia yang terus mempercepat langkahnya, keberanian untuk berhenti, merenung, dan bertanya "Mengapa," menjadi bentuk perlawanan yang paling mendasar. Mahasiswa perlu menyadari bahwa refleksi bukanlah kemewahan atau kelemahan, melainkan kebutuhan esensial untuk hidup yang otentik dan bermakna, sangat penting bagi mahasiswa untuk tau kemana tujuan hidupnya kedepan karena hidup akan terus berputar sesuai dengan porosnya dan kamu tidak boleh hanya diam ditempat tanpa tau arah dan tujuan hidupmu.


Oleh: Qonita Sholihat

Editor: Redaksi

27 April 2025

Antara Sulung dan Bungsu: Suara Anak Tengah

 
Sumber: Pexels.com

www.lpmalkalam.com- Sering sekali berseliweran di media sosial perdebatan urutan lahir seorang anak yang dapat memengaruhi cara seorang anak diperlakukan oleh orang tua. Anak sulung sering dijuluki sang penanggung jawab dan anak bungsu si kesayangan, lantas bagaimana dengan anak tengah? Diantara sikap orang tua yang sibuk menjadikan si sulung sebagai teladan dan si bungsu yang hidup dengan penuh perhatian, namun nasib anak tengah malah sering terabaikan. Bahkan, tak ada sebutan khusus untuk anak tengah. Mungkin, inilah bisikan suara anak tengah yang sedang dipendamnya. 

Banyak anak tengah merasa terasingkan, seolah hanya menjadi lalat dalam keluarganya. Bukan anak pertama yang selalu dibanggakan, bukan pula anak terakhir yang dimanjakan. Mereka sering dianggap pemberontak dan dicap berbeda dari anak yang lain. Diminta patuh kepada kakaknya dan menuruti keinginan adiknya, sehingga banyak hal yang tak ingin diungkapkan oleh dirinya. 

Ada beberapa penyebab yang membuat anak tengah merasa terasingkan. Pertama posisinya terhimpit menjadikannya tidak punya peran khusus seperti sulung atau bungsu, apalagi jika anak sulung dan dirinya segender, ia merasa kelahirannya hanya sebuah ketidakharapan orang tua yang hanya menginginkan sepasang anak laki-laki dan perempuan. Kedua, perhatian orang tua cenderung lebih banyak tertuju pada anak sulung yang sedang dibimbing, atau anak bungsu yang masih butuh pengawasan. Ketiga, anak tengah sering dibandingkan, baik dengan sulung yang lebih berprestasi atau bungsu yang lebih menggemaskan.

Dampak dari hal tersebut pun tidak bisa dianggap remeh. Anak tengah bisa tumbuh menjadi pendiam, bahkan menarik diri dari percakapan dengan keluarganya. Beberapa bahkan mencari perhatian di luar rumah, bisa dalam bentuk positif, namun juga bisa negatif. Terkadang, ketika anak tengah marah dan memberontak, bukan karena ia berhati buruk, namun ada suara yang ingin didengarkan. Walaupun begitu, ada juga anak tengah yang justru tumbuh menjadi pribadi mandiri, karena terbiasa menyesuaikan diri dan tidak bergantung pada orang lain. Namun, jika kemandirian itu lahir dari rasa kesepian, tentu itu sebuah kekeliruan.

Untuk menghindari anak tengah merasa terasingkan, perlu adanya perhatian yang adil dari orang tua kepada semua anak. Setiap anak, termasuk anak tengah, membutuhkan kasih sayang dan pengakuan yang setara. Menghargai keunikan anak tengah tanpa membandingkan juga sangat penting agar mereka merasa dihargai atas dirinya sendiri. Komunikasi perlu dibangun, sehingga anak tengah memiliki ruang untuk berbagi perasaan dan didengarkan dengan sungguh-sungguh. Selain itu, orang tua perlu memberikan tanggung jawab dan kepercayaan secara seimbang. Bukan hanya membebani anak sulung atau memanjakan anak bungsu. 

Menjadi anak tengah memang unik. Ada luka yang tersembunyi, tapi juga ada kekuatan yang tumbuh dari sana. Mungkin suara mereka tidak sekeras kakak dan adik, tapi bukan berarti tidak penting. Sudah saatnya suara anak tengah lebih didengar. Bukan untuk dikasihani, tapi untuk dipahami.


Oleh: Zuhra 

Editor: Redaksi 

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnaslis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0831 6327 5415 (Pimpinan Umum) 0895 1601 7818 (Pimpinan Redaksi) 082268042697 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.