Portal Berita Al-Kalam

Alih Status IAIN ke UIN, Username dan Profil Media Sosial UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe Belum Berganti? Ini Alasannya

Foto: IST www.lpmalkalam.com -  Humas Universitas Islam Negeri (UIN) Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe menuai pertanyaan dari mahasiswa terkai...

HEADLINE

Latest Post

17 Juli 2025

Aceh di antara Syariat dan Demokrasi: Politik Tuhan atau Suara Rakyat?

Foto: IST
www.lpmalkalam.com

Pendahuluan

Aceh merupakan satu-satunya provinsi di Indonesia yang secara resmi menerapkan syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Sejak diberlakukannya otonomi khusus pada tahun 2001, Aceh telah mengalami transformasi politik yang unik—mencoba menyeimbangkan antara implementasi hukum Islam dengan sistem demokrasi yang berlaku di Indonesia. Pertanyaan yang muncul adalah: Apakah yang berlaku di Aceh adalah "politik Tuhan" yang didasarkan pada otoritas agama, atau "suara rakyat" yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi?

Latar Belakang Historis

Akar Sejarah Islam di Aceh

Aceh telah lama dikenal sebagai "Serambi Mekah" Indonesia. Sejak abad ke-13, Islam telah menjadi bagian integral dari identitas masyarakat Aceh. Kesultanan Aceh yang pernah menjadi pusat kekuatan Islam di Asia Tenggara telah membangun tradisi pemerintahan yang mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan sistem politik lokal.

Konflik dan Perjuangan Otonomi

Konflik berkepanjangan antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia selama tiga dekade tidak hanya tentang kemerdekaan, tetapi juga tentang identitas dan hak untuk menjalankan kehidupan sesuai dengan nilai-nilai Islam. Tsunami 2004 yang menghancurkan Aceh paradoksalnya menjadi katalisator perdamaian, membuka jalan bagi penerapan otonomi khusus yang lebih luas.

Implementasi Syariat Islam dalam Sistem Demokrasi Kerangka Hukum

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh memberikan kewenangan khusus kepada Aceh untuk menerapkan syariat Islam. Qanun-qanun (peraturan daerah) yang didasarkan pada hukum Islam mulai diberlakukan, mencakup berbagai aspek kehidupan mulai dari ibadah, muamalah, hingga jinayah (hukum pidana Islam).

Lembaga-Lembaga Syariat

Aceh memiliki lembaga-lembaga khusus yang menjalankan syariat Islam, seperti Dinas Syariat Islam, Mahkamah Syar'iyah, dan Wilayatul Hisbah (polisi syariat). Lembaga-lembaga ini bekerja dalam kerangka sistem pemerintahan yang demokratis, di mana pemimpin dipilih melalui pemilihan umum.

Dilema Antara Otoritas Agama dan Kedaulatan Rakyat Politik Tuhan: Dimensi Teokratis

Dalam perspektif "politik Tuhan", legitimasi kekuasaan berasal dari otoritas ilahi yang diwujudkan melalui penerapan syariat Islam. Beberapa aspek yang menunjukkan dimensi ini:

1. Sumber Hukum: Qanun-qanun yang dibuat harus sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadis.

2. Otoritas Ulama: Peran Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) dalam memberikan rekomendasi kebijakan.

3. Implementasi Hudud: Penerapan hukuman berdasarkan ketentuan syariat.

Suara Rakyat: Dimensi Demokratis

Di sisi lain, "suara rakyat" tetap menjadi fondasi legitimasi kekuasaan melalui:

1. Pemilihan Umum: Gubernur, bupati, dan walikota dipilih langsung oleh rakyat.

2. DPRA dan DPRK: Lembaga legislatif yang mewakili aspirasi masyarakat.

3. Partisipasi Publik: Keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan.

Tantangan dan Kontradiksi

Pluralitas dalam Kesatuan

Meskipun mayoritas penduduk Aceh adalah Muslim, masih terdapat keragaman dalam interpretasi Islam dan keberadaan minoritas non-Muslim. Bagaimana menyeimbangkan penerapan syariat dengan perlindungan hak-hak minoritas menjadi tantangan tersendiri.

Modernitas dan Tradisi

Aceh menghadapi dilema antara mempertahankan nilai-nilai tradisional Islam dengan tuntutan modernisasi dan globalisasi. Beberapa qanun syariat kadang berbenturan dengan semangat kebebasan individual yang menjadi ciri masyarakat modern.

Efektivitas Implementasi

Pertanyaan mendasar adalah apakah penerapan syariat Islam di Aceh telah berhasil menciptakan masyarakat yang lebih adil dan bermoral, atau justru menimbulkan masalah baru dalam kehidupan bermasyarakat.

Sintesis: Mencari Keseimbangan

Model Hibrid

Yang terjadi di Aceh sebenarnya bukan pilihan antara "politik Tuhan" atau "suara rakyat," melainkan upaya untuk menciptakan model hibrid yang mengintegrasikan kedua dimensi tersebut. Syariat Islam diimplementasikan melalui mekanisme demokratis, sementara demokrasi dibingkai dalam nilai-nilai Islam.

Legitimasi Ganda

Kekuasaan di Aceh memiliki legitimasi ganda: legitimasi teologis dari penerapan syariat dan legitimasi demokratis dari dukungan rakyat. Hal ini menciptakan dinamika politik yang unik dan kompleks.

Evaluasi dan Prospek

Keberhasilan

Beberapa capaian positif dari penerapan syariat Islam di Aceh:

1. Penguatan identitas dan jati diri masyarakat Aceh.

2. Peningkatan kesadaran beragama dan moral.

3. Terciptanya keunikan dalam sistem pemerintahan daerah di Indonesia.

Kritik dan Keprihatinan

Namun, juga terdapat kritik terhadap implementasi syariat:

1. Kekhawatiran akan pelanggaran hak asasi manusia.

2. Diskriminasi terhadap kelompok minoritas.

3. Politisasi agama untuk kepentingan kekuasaan.

Masa Depan

Ke depan, Aceh perlu terus mencari formula yang tepat untuk menyeimbangkan antara penerapan syariat Islam dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Hal ini memerlukan dialog yang terbuka dan konstruktif antara berbagai pihak.

Kesimpulan

Aceh menghadirkan eksperimen politik yang menarik dalam mengintegrasikan nilai-nilai Islam dengan sistem demokrasi. Bukan sekadar pilihan antara "politik Tuhan" atau "suara rakyat," tetapi upaya untuk menciptakan sintesis yang mengakomodasi kedua dimensi tersebut. Keberhasilan model ini akan sangat bergantung pada kemampuan masyarakat dan pemimpin Aceh untuk terus berdialog, berkompromi, dan berinovasi dalam menghadapi tantangan- tantangan yang muncul.

Yang terpenting adalah bagaimana menjaga keseimbangan antara komitmen terhadap nilai- nilai agama dengan penghormatan terhadap hak-hak dasar manusia dan prinsip-prinsip demokrasi. Aceh memiliki potensi untuk menjadi model bagi daerah lain dalam mengintegrasikan nilai-nilai lokal dan agama dengan sistem pemerintahan yang demokratis, asalkan dapat mengatasi berbagai tantangan yang ada.

Karya: Ratu Jihan Mahira, Mahasiswi Jurusan Hukum Tata Negara Fakultas Syariah UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe

Editor: Alya Nadila

banner
Previous Post
Next Post
Comments
0 Comments

0 comments:

Mengenai Saya

Foto saya
Lhokseumawe, Aceh, Indonesia
Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Al – Kalam adalah salah satu lembaga pers mahasiswa guna mengembangkan bakat jurnalis muda yang berada di lingkungan kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Lhokseumawe.

Redaksi Al-Kalam

Nama

Email *

Pesan *

LPM AL-Kalam IAIN Lhokseumawe, 0821-6414-4543 (Pemimpin Redaksi) 0852-6227-8755 (Sekretaris Redaksi) Alamat:Jl. Medan Banda Aceh,Alue Awe,Kec. Muara Dua, Kota Lhokseumawe. Diberdayakan oleh Blogger.